Cari Blog Ini

Selasa, 10 Desember 2013

1 SEMESTER, 5 NEGARA, 10 KOTA (The Beginning)

Siang itu adalah siang yang biasa di Darmaga. Panas menggelora. Saya masih dalam perjalanan menuju fakultas saat tiba tiba sebuah sms datang. Isinya singkat tapi cukup untuk membuat saya tidak bisa tidur semalaman.

"Hepi, 
disuruh menghadap bu Nunung segera. Soalnya kamu kepilih buat exchange program AIMS."

Ok. Rasanya siang itu jadi lebih panas dibanding sebelumnya. Panasnya membuat kepala saya pusing dan jantung saya berdegup kencang. Ada hal ganjil yang tiba tiba terjadi saat itu. Saya mengucapkan alhamdulillah dengan mata bertaut dan perasaan yang tidak karuan. Benar benar pribadi yang kurang syukur, bukan?

Saya memutuskan untuk tidak menemui bu Nunung hari itu. Bu Nunung adalah sekretaris Fakultas Pertanian yang mengurusi beberapa program akademik internasional. Sekitar 5 bulan lalu saya mendaftarkan diri untuk mengikuti program AIMS, Asean International Mobility for Student. Program ini memang jadi program favorit di fakultas saya karena kita dapat merasakan pengalaman kuliah di luar negeri, dibiayai DIKTI, dapat trasnfer sks pula. Terbatas di negara sekitar ASEAN tentu saja. Tapi saya sudah hampir lupa bahkan dengan program tersebut saking lamanya menunggu.

Dalam catatan target saya, semester 7 memang saya rencanakan untuk mengikuti program pertukaran. Karena itu, saya mencoba mencari informasi tentang berbagai program yang tersedia di IPB. Saya fokus mencari program dengan tujuan jepang, karena negara itu adalah 'hati' saya sejak kecil. Yang membahagiakan, sebagian besar kerjasama di IPB memang dengan universitas universitas Jepang. Gak sulit untuk cari program yang menarik dan bagus dari segi kegiatan dan pembiayaan.

Awal semester enam saya akhirnya mendaftar program HUSTEP, Hokkaido University Short Term Program. Masih kental diingatan saya perjuangan untuk mengumpulkan berkas persayaratan. Saya harus bulak balik ke 5 rumah sakit untuk medical check up, menyetrika kertas2 yang basah kehujanan dan tertidur di koridor menunggu dosen selama 3 jam. Benar benar bukan usaha yang mudah, tapi entah kenapa badan saya terus bergerak dan hati saya terus berbisik bahwa saya berjodoh dengan program ini. Saya lolos sampai tahap wawancara akhir dan dengan sabar menanti hasil seleksi dari Universitas Hokkaido.

Di awal semester enam itu juga saya akhirnya berjumpa dengan dua kawan saya yang baru pulang dari Malaysia. Keduanya mengikuti program AIMS selama satu semester disana. Saya melihat banyak aura segar dan perubahan positif yang datang dari mereka, saya yakin bahwa satu semester di Malaysia sangat menyenangkan. Tak lama setelah itu pemberitahuan dibukanya pendaftaran program AIMS tersebar di papan papan pengumuman fakultas. Saya tertarik untuk mencoba, terlebih lagi berkas persayaratannya hanya harus saya ambil dari kopi-an berkas untuk HUSTEP.

Saya benar benar tak menyangka bahwa pengumuman AIMS datang lebih dulu. Datang 3 bulan setelah saya mendaftar lebih tepatnya. Meskipun digantung oleh HUSTEP lebih lama, hati kecil saya mengatakan bahwa harapan itu masih ada. Tetapi saya harus memberikan jawaban segera. Saya harus membuat keputusan sesegera mungkin.

Pening di siang yang panas berlanjut kegalauan di malam yang dingin. Jawaban dalam hati datang dengan cepat;
"Ambil kesempatan yang sudah ada dalam genggaman, jangan mencari2 yang belum dimiliki"

Esoknya saya menemui bu Nunung dan mengurus beberapa hal yang harus disiapkan untuk DIKTI dan UPM. Saya benar-benar mengucapkan rasa syukur yang tulus saat itu.

Tapi ternyata badai datang seminggu setelahnya.

Saat itu lagi lagi siang hari yang sangat panas. Telepon dari nomor kantor mengganggu saya yang terkantuk kantuk di bengkel ARL.

"Assalamuaaikum... Halo...Ini dari ICO (International Collaboration Office) IPB, dengan saudari Nur Hepsanti Hasanah?"
"Iya, betul pak..."
"Mau menginformasikan bahwa kamu diterima di program HUSTEP dan beasiswa JASSO. Segera cek email ya dek... Ada pemberitahuan langsung dari keduanya..."

Lagi lagi saya mengernyit, dan mengucapkan alhamdulillah dengan perasaan yang lebih bercampur aduk. Bapak ICO di seberang sana meminta saya untuk segera mengurus beberapa hal di kantor, entah kenapa dengan cepat lidah saya menjawab;

"Bapak..., maaf kalau saya menolak mengikuti program bagaimana? Karena saya juga diterima di program AIMS dan saya sudah setuju untuk mengikuti program tersebut."

Jeda beberapa detik.

 "Nanti kamu coba balas email dari International Office Hokkaido dulu. Jelaskan saja dengan baik alasannya ya. Nanti tolong kabari lagi ke saya"

Malam itu saya berdiskusi singkat dengan orangtua. Orang tua menyetujui apapun keputusan yang saya ambil. Setelah saya pertimbangkan dengan matangpun, program AIMS memang lebih menunjang kompetensi saya di bidang lanskap, sementara HUSTEP lebih kepada pertukaran budaya. Tapi tetap saja sungguh berat mengetikkan kata demi kata penolakan program kepada Prof Takada. Rasanya seperti menolak hal yang paling tidak ingin ditolak.

Dalam kepala saya berputar memori saya sejak kelas 1 SMA. Mulai dari ikut seminar tentang beasiswa ke Jepang, datang ke expo expo ttg kuliah di jepang, les bahasa jepang, beli buku2 tips kuliah dan kerja di jepang, saya benar-benar terobsesi dengan negara ini!

Tapi... Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Manusia hanya bisa berencana dan Allah jugalah yang menentukan takdir cantiknya... Rasa nyeri atas keputusan saya ini akhirnya membawa saya pada takdir lain dengan tantangan yang lebih besar.

Saya tidak akan menyesali apapun. Saya tidak akan mengeluhkan hal apapun.

Dan inilah sekarang saya di negeri jiran yang penuh tantangan. 
Program AIMS ini memang hanya satu semester saja. Tapi siapa yang tahu bahwa ianya akan membawa saya ke 5 negara.. 12 kota...?  



Jumat, 08 November 2013

PRESIDEN ARSITEK: MENDESAIN INDONESIA SEJAHTERA

Indonesia adalah negara yang kaya.

Siapa yang masih tidak setuju dengan pernyataan itu? Tidak! Tidak bisa digugat bahwa kita memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Tanah andosol coklat yang dari dalamnya menyembul subur ribuan komoditas pertanian. Dimana seorang anak bisa makan singkong rebus yang lezat dari tongkat yang ia lempar. Garis pantai dan laut yang luas terbentang. Ikan bahkan berlompatan kepangkuan kita. Belum lagi kekayaan visual dari lanskap eksotik yang kita punya. Memanjakan mata dan menggerakan bibir untuk senantiasa bertasbih. Indonesia adalah negara kaya? Iya! Iya banget.


novellarosalia.blogspot

Fakta pun membuktikan, Pendapatan Domestik Bruto Nasional kita menduduki peringkat 16 (IMF 2011) di dunia. Posisi yang kedepannya akan terus merangkak naik mengingat pertumbuhan ekonomi kita lebih dari 6%. Tentu saja ini kabar yang menjanjikan dan menggembirakan. Pergerakan ekonomi ini yang akan menjadi salah satu faktor keberhasilan dari berdirinya negara ini. Apa penentu keberhasilannya? Tentu saja dengan tercapainya tujuan negara Indonesia yang sudah dirumuskan oleh para pejuang proklamasi kita.

"(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial," (Pembukaan UUD 1945)

‘Memajukan kesejahteraan umum’, saya bawahi kalimat tersebut karena saya yakini bahwa sebenarnya poin yang lainpun memiliki muara yang sama; kesejahteraan.

Sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dr segala macam gangguan, kesukaran, dsb): (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III)

Sebagian besar pengamat menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan suatu bangsa dapat diukur dari pendapatan perkapita-nya. Kemapanan ekonomi akan memberikan bangsa tersebut kemakmuran, keamanan dan keselamatan yang diidamkan. Indonesia yang kini sedang mengalami kebangkitan ekonomi tentunya sedang melangkah perlahan menuju keberhasilan itu. PDB Perkapita Indonesia meskipun masih berada di urutan ke 120** dari 190 negara, sudah mengalami peningkatan nilai. Kini, seharusnya, rata rata tingkat pendapatan penduduk sudah 2,7 juta/ bulan. Lumayan bukan? Angka kemiskinan pun semakin menurun perlahan. Kurs yang sempat terjatuh dalam kini mulai tertatih naik.

Sudah sejahterakah bangsa ini?

'Prosperous' adalah terjemahan bahasa Inggris dari kata Sejahtera. Tetapi 'prosperous' memiliki dimensi yang lebih sempit dari Sejahtera. Prosperous lebih menekankan pada aspek material, sementara sejahtera memiliki makna multidimensional. Ada tuntutan yang lebih dalam dari sekedar materi untuk menjadi negara yang sejahtera. Karena itu, mulailah bermunculan konsep baru untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa. Gross Nastional Happines adalah salah satunya.

Gross National Happiness (GNH) muncul untuk menyeimbangkan sisi fisik dari definisi 'bangsa sejahtera'. Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh Raja Bhutan IV yang merasa 'mengejar kekayaan ekonomi' bukanlah hal yang tepat bagi pemerintahannya untuk bangsanya. Ia merasa bahwa yang diperlukan bukan hanya kemapanan material tetapi juga bathiniah. Berbagai indikator dibuat untuk merumuskan kebahagiaan meliputi kondisi ekonomi, lingkungan, politik, religi, budaya, kesehatan, termasuk aktivitas. Banyak negara yang akhirnya terinspirasi dan mencoba mengukur tingkat kebahagiaan nasional-nya. Ternyata banyak negara negara kaya yang rakyatnya justru tidak bahagia. Tingkat kriminalitas yang tinggi maupun banyaknya kasus stress berat terjadi di negara negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia belum secara resmi mengukur GNH-nya. Beberapa lembaga yang tertarik mencoba memiliki hasil yang beragam. Sebagian berpendapat bahwa kebahagiaan tidak dapat diukur secara kognitif, ia terletak di hati tiap individunya. Sebagian lagi berpendapat bahwa 'mengejar kebahagiaan' adalah rumus yang dapat dijabarkan, sehingga usaha untuk mencapai itu bisa dirancang. Saya sendiri sependapat dengan opini kedua. Karena saya seorang Arsitek. Seorang perancang.


UU_Arsitek

Latar belakang pendidikan saya adalah Arsitektur. Awalnya ketika saya melangkahkan kaki di bidang ini, saya mangira akan bertemu dengan dinginnya besi dan kakunya konstruksi. Tetapi tidak. Bidang ini menempa saya--kami, untuk jadi pemimpin utama dalam setiap keputusan yang kami ambil. Kami tidak dituntut untuk sangat handal dalam menggambar, tapi dalam mengolah ide. Kami tidak mendesain sesuka hati kami, tapi melalui analisis dan sintesis. Kami tidak hanya berkenalan dengan material, tetapi juga dengan bagaimana caranya memodifikasi perilaku manusia. Kami bermain dengan ruang, berdansa dengan fungsi dan kelayakan, berkutat dengan memaksimalkan manfaat. Setiap garis dan bentuk yang kami putuskan untuk buat, akan dengan tegas dipertanyakan alasannya. Karena hal ini berkaitan dengan efek setelah itu; bagaimana respon user (baca: pengguna, masyarakat) terhadap desain tersebut? Bahagiakah mereka dengannya?

Kebahagiaan.

Para Arsitek juga ingin meraih itu untuk penggunanya, dimana sebuah negara-pun ingin meraih itu untuk bangsanya.

Maka, ketika kini bangsa Indonesia sudah bisa tersenyum dan bersemangat melihat pertumbuhan ekonominya, apakah berarti tugas pemimpin negara selesai? Apakah berarti pemimpin selanjutnya (dimana kita akan segera menyongsong PEMILU 2014) mengemban amanah yang lebih ringan dibanding sebelumnya? Tentu saja tidak. Masih ada level lain untuk menuju kesejahteraan. Level selanjutnya adalah membahagiakan. Bagaimana definisinya? Kita berada di titik apa saat ini dan harus sampai ke titik mana di masa depan?

Saya akan menilik 'indeks kebahagiaan' masyarakat Indonesia dengan pendekatan yang sederhana agar rumusan yang dibuat bisa lebih sempit: kondisi sosial. Bagi saya, masalah sosial di Indonesia sejauh ini dapat disimpulkan dalam satu kata saja: mentalitas. Masyarakat Indonesia bukan lagi pribadi pribadi yang siap mengacungkan bambu runcing melawan penjajah, namun pribadi pemalas yang hanya suka update status di facebook dan mencaci maki di twitter. Mentalitas bangsa Indonesia bukan lagi seorang pejuang, melainkan tukang komentar. Saya rasa menandai hal ini menjadi bagian positif dari kebebasan berpendapat tidak tepat. Yang ada mudahnya adu domba dan perpecahan lewat hal hal yang sangat sepele. Egoisme dan suara pesimisme yang pekat ditumpahakan dimana mana bahkan untuk kabar baik sekalipun. Jarang yang coba saling mencerdaskan, bahkan para pemilik media berlomba lomba saling membodohi bangsanya sendiri. Kini bahkan para pemuda-nya sekalipun tidak ragu untuk mempromosikan video tawuran dan saling tertawa melihat temannya terluka. Prestasi para pelajar dan mahasiswa sepi lapak, tetapi gosip artis dan skandal pejabat ramai semarak.

Mungkin saja masyarakat Indonesia sendiri bahagia bahagia saja dengan kondisi ini. Tapi bahagia
yang sakit. Bangsa Indonesia ini dari segi sosial sedang sakit.

Ketika dasar kondisi-nya sudah tahu. Sekarang kita mau melangkah kemana? Mau menyembuhkannya dengan cara apa?

Bagi saya, justru tantangan terbesar bagi pemimpin Indonesia selanjutnya ada disini; Bagaimana pertumbuhan ekonomi yang baik dapat berjalan beriringan dengan masyarakat yang sehat.
Saya yakin bahwa masih banyak pemimpin yang baik di Indonesia. Sosok yang mau bersungguh-sungguh bekerja untuk bangsanya. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak cukup. Kerja keras dan kesungguhan harus diiringi dengan kecerdasan dan kualitas seorang pemimpin negarawan. Salah satunya, kualitas seorang arsitek.

Menarik ketika berbicara tentang kualitas seorang Arsitek bagi Presiden. Saya teringat Soekarno yang juga memiliki latar Belakang pendidikan sebagai Arsitek. Ketika masa pra kepemimpinan dan saat kepemimpinannya, beliau merancang dengan hati hati seluruh kebijakan dan langkah yang ia buat. Ia tidak membangun negara dari segi fisik. Ia bermain dengan emosi rakyatnya karena ia tahu bahwa ia tidak sedang membenahi infrastruktur, tetapi peradaban. Rancangan rancangan kepemimpinannya adalah hasil olah pemikirannya tentang masalah masalah rakyat di awal kemerdakaan. Ia sangat sadar bahwa ia berurusan dengan sebuah 'masyarakat' yang responsif.

Kualitas untuk berfikir respon ini juga selalu digaungkan oleh dosen dosen arsitektur saya. Dalam buku "Responsive Environment" yang ditulis oleh 5 ahli tata ruang dan arsitektur, sang perancang (baca: pemimpin) harus sangat paham bahwa apapun keputusan dan tindakannya dalam membuat desain akan mempengaruhi lingkungan dalam tujuh aspek psikologis.

1. Desainnya akan mempengaruhi kemana orang boleh dan tidak boleh pergi. Hal ini disebut 'permeability'.
2. Desainnya akan mempengaruhi banyaknya keberagaman fungsi yang tersedia untuk orang tersebut. Hal ini disebut 'variety'.
3. Desainnya akan mempengaruhi tingkat kemudahan orang dalam memahami peluang peluang apa saja yang hadir dalam desain tersebut. Hal ini disebut legibility.
4. Desainnya akan mempengaruhi perbedaan penggunaan yang dapat digunakan oleh berbagai tingkat status seseorang. Hal ini disebut robustness.
5. Desainnya akan mempengaruhi interpretasi seseorang dalam menggunakan produk tersebut dalam skala visual. Hal ini disebut 'Visual Apropriateness'
6. Desainnya akan mempengaruhi keberagaman pengalaman perasaan yang dialami oleh lima indra. Hal ini disebut sebagai richness.
7. Desainnya akan mempengaruhi bagaimana orang dapat membuat dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa hal itu sesuai dengan perspektif pribadinya. Hal ini disebut sebagai personalization.
(Bentley Alcock Murrain McGlynn Smith, Responsive Environments; a Manual for Designers, 1996)

Tiap generasi memiliki masalah yang berbeda dan solusi yang berbeda pula. Dalam hal ini, definisi masalah utama adalah degradasi mentalitas dan moral, keacuhan bangsa untuk membenahi bangsanya sendiri.

Langkah selanjutnya, apa gol yang ingin dicapai?
Masyarakat yang partisipatif dan aktif dalam membangun bangsa.

Bagaimana caranya? Merumuskan kebijakan atau merancang kepemimpinan dengan mengarahkan masyarakat agar tidak dapat memilih jalan 'pasif' (permeablity), tahu bahwa ada berbagai macam jenis kontribusi (variety), mudah untuk melihat peluang (legibility), fleksibel untuk siapa saja (robustness), tertarik (visual apropriateness), terlibat secara emosional (richness) dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidupnya serta jalan yang ia pilih (personalization).

Seorang pemimpin mencuri perhatian saya terkait hal ini. Dia adalah Ridwan Kamil, walikota Bandung yang baru saja terpilih untuk periode 2013-2018. Sebelumnya beliau memang sudah terlatih untuk bekerja bersama kaum muda dengan membentuk komunitas komunitas kreatif di Bandung. Ridwan Kamil mempunyai metode membenahi bandung dengan tidak bertindak sebagai SUPERMAN, melainkan SUPER TEAM. Ia membentuk forum dan menjaring volunteer dari berbagai lapisan masyarakat. Ia membuat kegiatan bersih bersih jalan dan naik angkot menjadi hal yang keren dan menyenangkan. Aktivitasnya yang unik dan hangat di jejaring media pun merangkul banyak kalangan. Konsep kepemimpinannya ia rancang agar masyarakat memberikan respon seperti yang ia inginkan. Melalui analisis 'responsive environment' di atas; ia merancang masyarakat untuk MAU TURUN KE JALAN untuk membereskan masalah masalah yang ada.

Dua sisi pihak yang mendukung dan mengkritik tentu akan ada. Itulah konsekuensi dari setiap rancangan. Arsiteknya berhadapan dengan makhluk hidup yang memiliki respon. Tetapi siapa yang cukup bernyali untuk menggali seluruh potensi dan kemampuannya untuk menerima konsekuensi tersebut?

Kualitas seorang arsitek handal tentu saja bukan satu satunya hal yang harus ada untuk Pemimpin Indonesia. Ia juga harus dilengkapi dengan kualitas kualitas lainnya untuk menghadapi tantangan Indonesia ke depan. Kompleks. Rumit. Tetapi tentu saja kita bersama sama ingin sampai ke muara Kesejahtaraan itu tadi. Dimana tuntutannya bukan lagi soal sepele infrastruktur, tetapi membawa Indonesia kaya raya yang sedang sakit ini, menuju puncak! Bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga kemapanan mentalitas. Menebarkan kebahagiaan. Setelah itu dicapai, masih ada level level selanjutnya yang harus ditempuh.

Saya yakin harapan itu masih ada. Harapan itu disanggakan ditiap pundak kita. Karena itu saya menantang teman teman (dan diri saya sendiri). Siapkah mendesain Indonesia Sejahtera?

Kamis, 06 Juni 2013

MENELAAH DIRI (Intoduction of Value)



Banyak hal yang tanpa kita sadari, mengikis tujuan utama kita dalam hidup ini tiap harinya, tiap jamnya, tiap menitnya. Banyak hal yang tanpa kita sadari mulai menggerogoti idealisme yang dengan apik tertanam dalam diri. Asa yang bersemayam cukup lama itu harusnya tetap teguh ada disana. tidak berjalan jalan atau bahkan berlari kemanamana. Ada banyak hal yang harus diwaspadai, ada banyak hal yang mengancam asa kecil tersebut.
Berbahaya.
Pada dasarnya degradasi semangat itu pasti akan terjadi. Ada masanya ia datang, lalu mundur kembali. Ada juga masa dimana terkadang jalan terlihat terlalu terjal sehingga memutar kemudi sedikit menjadi pilihan yang menarik hati. Tidak masalah bukan? Hanya yang pada akhirnya menjadi disayangkan adalah; ketika riak riak ‘pemberontakan’ kecil itu muncul, jangan biarkan ianya menjadi ombak yang besar, yang menghantam dan menghancurkan pantai di pulau. Mengikis sedikit demi sedikit pasirnya, menenggelamkan harta berharga dalam pulau itu; asa kecil itu.
Bagi para aktivis, harta itu adalah keinginan untuk berbuat banyak untuk orang lain. Bagi para aktivis, harta itu adalah tekad untuk senantiasa mengabdikan dirinya untuk kebahagiaan banyak orang. Bagi para aktivis, harta itu adalah hastrat tulus untuk membagi cintanya dan memberanikan dirinya untuk mencintai bangsanya.
Menelaah diri
Banyak yang masih compang camping dalam langkah langkah yang dibuat dalam gerakan ini. Pencapaian sederhana menjadi kepuasan jangka lama. Menyedihkan. Tapi sampai saat ini masih begitu adanya. Pengorbanan kecil terasa begitu berat terseret seret. Menyedihkan. Tapi sampai saat ini masih begitu yang dirasa. Harus ada dinamo yang memacu, membakar memanaskan kembali impian besar itu untuk diraih. Karena terancamnya bangsa ini bukan karena tidak ada lagi orang orang berkualitas, tetapii karena banyaknya orang orang hebat yang hanya punya mimpi kecil, dan itu terwujud.
Ketika cahaya asa itu berpendar menghangatkan berbagai sudut bumi, maka yang harus dilakukan adalah membuatnya tetap menghangatkan. Jangan sampai redup atau malah membakar memusnahkan. Bagai kereta yang melaju dalam rel kontribusi, maka harapanya tetap pada jalur yang sama. Tentu saja ada stasiun stasiun untuk istirahat sejenak melepas nafas, tetapi kereta tersebut harus terus melaju lagi.
Nilai membentuk abstraksi idealisme rumit dalam hati tiap aktivis. Menyusun partikel partikel keteguhan dan semangat untuk terus berjuang dalam jalan dan cara yang benar. Mengkristalkan penopang agar kuat ditempa kerikil dan batu apapun yang ingin menghancurkan. Menenggelamkan sebanyak banyaknya nilai-nilai kebaikan dalam diri akan memantapkan langkah ini, langkah yang membuka jalan menuju petualangan panjang.
Pada dasarnya degradasi semangat itu pasti akan terjadi. Degradasi idealisme itu hal yang akan teralami. Tetapi selama ada nilai yang selalu dijunjung tinggi, maka kegoyahan itu (semoga) bisa tegak kembali. Tidak bermaksud untuk berbangga, tetapi memang hanya sedikit pemuda yang mau memikirkan bangs ini. Karena itu tegak dan kuatlah. Ada begitu banyak orang yang menunggu sepak terjang kita nanti. :)