Siang itu adalah
siang yang biasa di Darmaga. Panas menggelora. Saya masih dalam perjalanan
menuju fakultas saat tiba tiba sebuah sms datang. Isinya singkat tapi cukup
untuk membuat saya tidak bisa tidur semalaman.
"Hepi,
disuruh menghadap bu Nunung segera. Soalnya kamu kepilih buat exchange program AIMS."
disuruh menghadap bu Nunung segera. Soalnya kamu kepilih buat exchange program AIMS."
Ok. Rasanya siang
itu jadi lebih panas dibanding sebelumnya. Panasnya membuat kepala saya pusing
dan jantung saya berdegup kencang. Ada hal ganjil yang tiba tiba terjadi saat
itu. Saya mengucapkan alhamdulillah dengan mata bertaut dan perasaan yang tidak
karuan. Benar benar pribadi yang kurang syukur, bukan?
Saya memutuskan
untuk tidak menemui bu Nunung hari itu. Bu Nunung adalah sekretaris Fakultas
Pertanian yang mengurusi beberapa program akademik internasional. Sekitar 5
bulan lalu saya mendaftarkan diri untuk mengikuti program AIMS, Asean
International Mobility for Student. Program ini memang jadi program favorit di
fakultas saya karena kita dapat merasakan pengalaman kuliah di luar negeri,
dibiayai DIKTI, dapat trasnfer sks pula. Terbatas di negara sekitar ASEAN tentu
saja. Tapi saya sudah hampir lupa bahkan dengan program tersebut saking lamanya
menunggu.
Dalam catatan target
saya, semester 7 memang saya rencanakan untuk mengikuti program pertukaran.
Karena itu, saya mencoba mencari informasi tentang berbagai program yang
tersedia di IPB. Saya fokus mencari program dengan tujuan jepang, karena negara
itu adalah 'hati' saya sejak kecil. Yang membahagiakan, sebagian besar
kerjasama di IPB memang dengan universitas universitas Jepang. Gak sulit untuk
cari program yang menarik dan bagus dari segi kegiatan dan pembiayaan.
Awal semester enam
saya akhirnya mendaftar program HUSTEP, Hokkaido University Short Term Program.
Masih kental diingatan saya perjuangan untuk mengumpulkan berkas persayaratan.
Saya harus bulak balik ke 5 rumah sakit untuk medical check up, menyetrika kertas2
yang basah kehujanan dan tertidur di koridor menunggu dosen selama 3 jam. Benar
benar bukan usaha yang mudah, tapi entah kenapa badan saya terus bergerak dan
hati saya terus berbisik bahwa saya berjodoh dengan program ini. Saya lolos
sampai tahap wawancara akhir dan dengan sabar menanti hasil seleksi dari
Universitas Hokkaido.
Di awal semester
enam itu juga saya akhirnya berjumpa dengan dua kawan saya yang baru pulang
dari Malaysia. Keduanya mengikuti program AIMS selama satu semester disana.
Saya melihat banyak aura segar dan perubahan positif yang datang dari mereka,
saya yakin bahwa satu semester di Malaysia sangat menyenangkan. Tak lama
setelah itu pemberitahuan dibukanya pendaftaran program AIMS tersebar di papan
papan pengumuman fakultas. Saya tertarik untuk mencoba, terlebih lagi berkas
persayaratannya hanya harus saya ambil dari kopi-an berkas untuk HUSTEP.
Saya benar benar tak
menyangka bahwa pengumuman AIMS datang lebih dulu. Datang 3 bulan setelah saya
mendaftar lebih tepatnya. Meskipun digantung oleh HUSTEP lebih lama, hati kecil
saya mengatakan bahwa harapan itu masih ada. Tetapi saya harus memberikan jawaban
segera. Saya harus membuat keputusan sesegera mungkin.
Pening di siang yang
panas berlanjut kegalauan di malam yang dingin. Jawaban dalam hati datang
dengan cepat;
"Ambil
kesempatan yang sudah ada dalam genggaman, jangan mencari2 yang belum
dimiliki"
Esoknya saya menemui
bu Nunung dan mengurus beberapa hal yang harus disiapkan untuk DIKTI dan UPM.
Saya benar-benar mengucapkan rasa syukur yang tulus saat itu.
Tapi ternyata badai
datang seminggu setelahnya.
Saat itu lagi lagi
siang hari yang sangat panas. Telepon dari nomor kantor mengganggu saya yang
terkantuk kantuk di bengkel ARL.
"Assalamuaaikum...
Halo...Ini dari ICO (International Collaboration Office) IPB, dengan saudari
Nur Hepsanti Hasanah?"
"Iya, betul
pak..."
"Mau
menginformasikan bahwa kamu diterima di program HUSTEP dan beasiswa JASSO.
Segera cek email ya dek... Ada pemberitahuan langsung dari keduanya..."
Lagi lagi saya
mengernyit, dan mengucapkan alhamdulillah dengan perasaan yang lebih bercampur
aduk. Bapak ICO di seberang sana meminta saya untuk segera mengurus beberapa
hal di kantor, entah kenapa dengan cepat lidah saya menjawab;
"Bapak..., maaf
kalau saya menolak mengikuti program bagaimana? Karena saya juga diterima di
program AIMS dan saya sudah setuju untuk mengikuti program tersebut."
Jeda beberapa detik.
"Nanti kamu coba balas email dari
International Office Hokkaido dulu. Jelaskan saja dengan baik alasannya ya.
Nanti tolong kabari lagi ke saya"
Malam itu saya
berdiskusi singkat dengan orangtua. Orang tua menyetujui apapun keputusan yang
saya ambil. Setelah saya pertimbangkan dengan matangpun, program AIMS memang
lebih menunjang kompetensi saya di bidang lanskap, sementara HUSTEP lebih
kepada pertukaran budaya. Tapi tetap saja sungguh berat mengetikkan kata demi
kata penolakan program kepada Prof Takada. Rasanya seperti menolak hal yang
paling tidak ingin ditolak.
Dalam kepala saya
berputar memori saya sejak kelas 1 SMA. Mulai dari ikut seminar tentang
beasiswa ke Jepang, datang ke expo expo ttg kuliah di jepang, les bahasa
jepang, beli buku2 tips kuliah dan kerja di jepang, saya benar-benar terobsesi
dengan negara ini!
Tapi... Allahu
Akbar! Allahu Akbar!
Manusia hanya bisa
berencana dan Allah jugalah yang menentukan takdir cantiknya... Rasa nyeri atas
keputusan saya ini akhirnya membawa saya pada takdir lain dengan tantangan yang
lebih besar.
Saya tidak akan
menyesali apapun. Saya tidak akan mengeluhkan hal apapun.
Dan inilah sekarang
saya di negeri jiran yang penuh tantangan.
Program AIMS ini memang hanya satu
semester saja. Tapi siapa yang tahu bahwa ianya akan membawa saya ke 5 negara..
12 kota...?
woiii ini mana lanjutannyaaaaaa aaaak twiiiiin
BalasHapus