Cari Blog Ini

Jumat, 08 November 2013

PRESIDEN ARSITEK: MENDESAIN INDONESIA SEJAHTERA

Indonesia adalah negara yang kaya.

Siapa yang masih tidak setuju dengan pernyataan itu? Tidak! Tidak bisa digugat bahwa kita memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Tanah andosol coklat yang dari dalamnya menyembul subur ribuan komoditas pertanian. Dimana seorang anak bisa makan singkong rebus yang lezat dari tongkat yang ia lempar. Garis pantai dan laut yang luas terbentang. Ikan bahkan berlompatan kepangkuan kita. Belum lagi kekayaan visual dari lanskap eksotik yang kita punya. Memanjakan mata dan menggerakan bibir untuk senantiasa bertasbih. Indonesia adalah negara kaya? Iya! Iya banget.


novellarosalia.blogspot

Fakta pun membuktikan, Pendapatan Domestik Bruto Nasional kita menduduki peringkat 16 (IMF 2011) di dunia. Posisi yang kedepannya akan terus merangkak naik mengingat pertumbuhan ekonomi kita lebih dari 6%. Tentu saja ini kabar yang menjanjikan dan menggembirakan. Pergerakan ekonomi ini yang akan menjadi salah satu faktor keberhasilan dari berdirinya negara ini. Apa penentu keberhasilannya? Tentu saja dengan tercapainya tujuan negara Indonesia yang sudah dirumuskan oleh para pejuang proklamasi kita.

"(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial," (Pembukaan UUD 1945)

‘Memajukan kesejahteraan umum’, saya bawahi kalimat tersebut karena saya yakini bahwa sebenarnya poin yang lainpun memiliki muara yang sama; kesejahteraan.

Sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dr segala macam gangguan, kesukaran, dsb): (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III)

Sebagian besar pengamat menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan suatu bangsa dapat diukur dari pendapatan perkapita-nya. Kemapanan ekonomi akan memberikan bangsa tersebut kemakmuran, keamanan dan keselamatan yang diidamkan. Indonesia yang kini sedang mengalami kebangkitan ekonomi tentunya sedang melangkah perlahan menuju keberhasilan itu. PDB Perkapita Indonesia meskipun masih berada di urutan ke 120** dari 190 negara, sudah mengalami peningkatan nilai. Kini, seharusnya, rata rata tingkat pendapatan penduduk sudah 2,7 juta/ bulan. Lumayan bukan? Angka kemiskinan pun semakin menurun perlahan. Kurs yang sempat terjatuh dalam kini mulai tertatih naik.

Sudah sejahterakah bangsa ini?

'Prosperous' adalah terjemahan bahasa Inggris dari kata Sejahtera. Tetapi 'prosperous' memiliki dimensi yang lebih sempit dari Sejahtera. Prosperous lebih menekankan pada aspek material, sementara sejahtera memiliki makna multidimensional. Ada tuntutan yang lebih dalam dari sekedar materi untuk menjadi negara yang sejahtera. Karena itu, mulailah bermunculan konsep baru untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa. Gross Nastional Happines adalah salah satunya.

Gross National Happiness (GNH) muncul untuk menyeimbangkan sisi fisik dari definisi 'bangsa sejahtera'. Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh Raja Bhutan IV yang merasa 'mengejar kekayaan ekonomi' bukanlah hal yang tepat bagi pemerintahannya untuk bangsanya. Ia merasa bahwa yang diperlukan bukan hanya kemapanan material tetapi juga bathiniah. Berbagai indikator dibuat untuk merumuskan kebahagiaan meliputi kondisi ekonomi, lingkungan, politik, religi, budaya, kesehatan, termasuk aktivitas. Banyak negara yang akhirnya terinspirasi dan mencoba mengukur tingkat kebahagiaan nasional-nya. Ternyata banyak negara negara kaya yang rakyatnya justru tidak bahagia. Tingkat kriminalitas yang tinggi maupun banyaknya kasus stress berat terjadi di negara negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia belum secara resmi mengukur GNH-nya. Beberapa lembaga yang tertarik mencoba memiliki hasil yang beragam. Sebagian berpendapat bahwa kebahagiaan tidak dapat diukur secara kognitif, ia terletak di hati tiap individunya. Sebagian lagi berpendapat bahwa 'mengejar kebahagiaan' adalah rumus yang dapat dijabarkan, sehingga usaha untuk mencapai itu bisa dirancang. Saya sendiri sependapat dengan opini kedua. Karena saya seorang Arsitek. Seorang perancang.


UU_Arsitek

Latar belakang pendidikan saya adalah Arsitektur. Awalnya ketika saya melangkahkan kaki di bidang ini, saya mangira akan bertemu dengan dinginnya besi dan kakunya konstruksi. Tetapi tidak. Bidang ini menempa saya--kami, untuk jadi pemimpin utama dalam setiap keputusan yang kami ambil. Kami tidak dituntut untuk sangat handal dalam menggambar, tapi dalam mengolah ide. Kami tidak mendesain sesuka hati kami, tapi melalui analisis dan sintesis. Kami tidak hanya berkenalan dengan material, tetapi juga dengan bagaimana caranya memodifikasi perilaku manusia. Kami bermain dengan ruang, berdansa dengan fungsi dan kelayakan, berkutat dengan memaksimalkan manfaat. Setiap garis dan bentuk yang kami putuskan untuk buat, akan dengan tegas dipertanyakan alasannya. Karena hal ini berkaitan dengan efek setelah itu; bagaimana respon user (baca: pengguna, masyarakat) terhadap desain tersebut? Bahagiakah mereka dengannya?

Kebahagiaan.

Para Arsitek juga ingin meraih itu untuk penggunanya, dimana sebuah negara-pun ingin meraih itu untuk bangsanya.

Maka, ketika kini bangsa Indonesia sudah bisa tersenyum dan bersemangat melihat pertumbuhan ekonominya, apakah berarti tugas pemimpin negara selesai? Apakah berarti pemimpin selanjutnya (dimana kita akan segera menyongsong PEMILU 2014) mengemban amanah yang lebih ringan dibanding sebelumnya? Tentu saja tidak. Masih ada level lain untuk menuju kesejahteraan. Level selanjutnya adalah membahagiakan. Bagaimana definisinya? Kita berada di titik apa saat ini dan harus sampai ke titik mana di masa depan?

Saya akan menilik 'indeks kebahagiaan' masyarakat Indonesia dengan pendekatan yang sederhana agar rumusan yang dibuat bisa lebih sempit: kondisi sosial. Bagi saya, masalah sosial di Indonesia sejauh ini dapat disimpulkan dalam satu kata saja: mentalitas. Masyarakat Indonesia bukan lagi pribadi pribadi yang siap mengacungkan bambu runcing melawan penjajah, namun pribadi pemalas yang hanya suka update status di facebook dan mencaci maki di twitter. Mentalitas bangsa Indonesia bukan lagi seorang pejuang, melainkan tukang komentar. Saya rasa menandai hal ini menjadi bagian positif dari kebebasan berpendapat tidak tepat. Yang ada mudahnya adu domba dan perpecahan lewat hal hal yang sangat sepele. Egoisme dan suara pesimisme yang pekat ditumpahakan dimana mana bahkan untuk kabar baik sekalipun. Jarang yang coba saling mencerdaskan, bahkan para pemilik media berlomba lomba saling membodohi bangsanya sendiri. Kini bahkan para pemuda-nya sekalipun tidak ragu untuk mempromosikan video tawuran dan saling tertawa melihat temannya terluka. Prestasi para pelajar dan mahasiswa sepi lapak, tetapi gosip artis dan skandal pejabat ramai semarak.

Mungkin saja masyarakat Indonesia sendiri bahagia bahagia saja dengan kondisi ini. Tapi bahagia
yang sakit. Bangsa Indonesia ini dari segi sosial sedang sakit.

Ketika dasar kondisi-nya sudah tahu. Sekarang kita mau melangkah kemana? Mau menyembuhkannya dengan cara apa?

Bagi saya, justru tantangan terbesar bagi pemimpin Indonesia selanjutnya ada disini; Bagaimana pertumbuhan ekonomi yang baik dapat berjalan beriringan dengan masyarakat yang sehat.
Saya yakin bahwa masih banyak pemimpin yang baik di Indonesia. Sosok yang mau bersungguh-sungguh bekerja untuk bangsanya. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak cukup. Kerja keras dan kesungguhan harus diiringi dengan kecerdasan dan kualitas seorang pemimpin negarawan. Salah satunya, kualitas seorang arsitek.

Menarik ketika berbicara tentang kualitas seorang Arsitek bagi Presiden. Saya teringat Soekarno yang juga memiliki latar Belakang pendidikan sebagai Arsitek. Ketika masa pra kepemimpinan dan saat kepemimpinannya, beliau merancang dengan hati hati seluruh kebijakan dan langkah yang ia buat. Ia tidak membangun negara dari segi fisik. Ia bermain dengan emosi rakyatnya karena ia tahu bahwa ia tidak sedang membenahi infrastruktur, tetapi peradaban. Rancangan rancangan kepemimpinannya adalah hasil olah pemikirannya tentang masalah masalah rakyat di awal kemerdakaan. Ia sangat sadar bahwa ia berurusan dengan sebuah 'masyarakat' yang responsif.

Kualitas untuk berfikir respon ini juga selalu digaungkan oleh dosen dosen arsitektur saya. Dalam buku "Responsive Environment" yang ditulis oleh 5 ahli tata ruang dan arsitektur, sang perancang (baca: pemimpin) harus sangat paham bahwa apapun keputusan dan tindakannya dalam membuat desain akan mempengaruhi lingkungan dalam tujuh aspek psikologis.

1. Desainnya akan mempengaruhi kemana orang boleh dan tidak boleh pergi. Hal ini disebut 'permeability'.
2. Desainnya akan mempengaruhi banyaknya keberagaman fungsi yang tersedia untuk orang tersebut. Hal ini disebut 'variety'.
3. Desainnya akan mempengaruhi tingkat kemudahan orang dalam memahami peluang peluang apa saja yang hadir dalam desain tersebut. Hal ini disebut legibility.
4. Desainnya akan mempengaruhi perbedaan penggunaan yang dapat digunakan oleh berbagai tingkat status seseorang. Hal ini disebut robustness.
5. Desainnya akan mempengaruhi interpretasi seseorang dalam menggunakan produk tersebut dalam skala visual. Hal ini disebut 'Visual Apropriateness'
6. Desainnya akan mempengaruhi keberagaman pengalaman perasaan yang dialami oleh lima indra. Hal ini disebut sebagai richness.
7. Desainnya akan mempengaruhi bagaimana orang dapat membuat dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa hal itu sesuai dengan perspektif pribadinya. Hal ini disebut sebagai personalization.
(Bentley Alcock Murrain McGlynn Smith, Responsive Environments; a Manual for Designers, 1996)

Tiap generasi memiliki masalah yang berbeda dan solusi yang berbeda pula. Dalam hal ini, definisi masalah utama adalah degradasi mentalitas dan moral, keacuhan bangsa untuk membenahi bangsanya sendiri.

Langkah selanjutnya, apa gol yang ingin dicapai?
Masyarakat yang partisipatif dan aktif dalam membangun bangsa.

Bagaimana caranya? Merumuskan kebijakan atau merancang kepemimpinan dengan mengarahkan masyarakat agar tidak dapat memilih jalan 'pasif' (permeablity), tahu bahwa ada berbagai macam jenis kontribusi (variety), mudah untuk melihat peluang (legibility), fleksibel untuk siapa saja (robustness), tertarik (visual apropriateness), terlibat secara emosional (richness) dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidupnya serta jalan yang ia pilih (personalization).

Seorang pemimpin mencuri perhatian saya terkait hal ini. Dia adalah Ridwan Kamil, walikota Bandung yang baru saja terpilih untuk periode 2013-2018. Sebelumnya beliau memang sudah terlatih untuk bekerja bersama kaum muda dengan membentuk komunitas komunitas kreatif di Bandung. Ridwan Kamil mempunyai metode membenahi bandung dengan tidak bertindak sebagai SUPERMAN, melainkan SUPER TEAM. Ia membentuk forum dan menjaring volunteer dari berbagai lapisan masyarakat. Ia membuat kegiatan bersih bersih jalan dan naik angkot menjadi hal yang keren dan menyenangkan. Aktivitasnya yang unik dan hangat di jejaring media pun merangkul banyak kalangan. Konsep kepemimpinannya ia rancang agar masyarakat memberikan respon seperti yang ia inginkan. Melalui analisis 'responsive environment' di atas; ia merancang masyarakat untuk MAU TURUN KE JALAN untuk membereskan masalah masalah yang ada.

Dua sisi pihak yang mendukung dan mengkritik tentu akan ada. Itulah konsekuensi dari setiap rancangan. Arsiteknya berhadapan dengan makhluk hidup yang memiliki respon. Tetapi siapa yang cukup bernyali untuk menggali seluruh potensi dan kemampuannya untuk menerima konsekuensi tersebut?

Kualitas seorang arsitek handal tentu saja bukan satu satunya hal yang harus ada untuk Pemimpin Indonesia. Ia juga harus dilengkapi dengan kualitas kualitas lainnya untuk menghadapi tantangan Indonesia ke depan. Kompleks. Rumit. Tetapi tentu saja kita bersama sama ingin sampai ke muara Kesejahtaraan itu tadi. Dimana tuntutannya bukan lagi soal sepele infrastruktur, tetapi membawa Indonesia kaya raya yang sedang sakit ini, menuju puncak! Bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga kemapanan mentalitas. Menebarkan kebahagiaan. Setelah itu dicapai, masih ada level level selanjutnya yang harus ditempuh.

Saya yakin harapan itu masih ada. Harapan itu disanggakan ditiap pundak kita. Karena itu saya menantang teman teman (dan diri saya sendiri). Siapkah mendesain Indonesia Sejahtera?