Cari Blog Ini

Rabu, 09 Juni 2010

Taman Jepang (Nihon Teien)




Taman Jepang (日本庭園 ,Nihon teien) adalah taman yang dibangun dengan gaya tradisional Jepang. Prinsip dasar taman Jepang adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam empat musim di Jepang. Elemen dasar seperti batu-batu dan kolam dipakai untuk melambangkan lanskap alam berukuran besar.

Selain taman Jepang yang dibuka untuk umum, taman Jepang dibangun di hotel, kuil Buddha, bekas kediaman resmi daimyo, dan rumah besar milik pejabat atau pengusaha. Taman sempit bergaya Jepang di halaman rumah milik rakyat biasa disebut tsuboniwa (taman halaman kecil) atau nakaniwa (halaman dalam).Tiga taman Jepang yang paling terkenal adalah Kenroku-en di Kanazawa, Kōraku-en di Okayama, dan Kairaku-en di Mito, Prefektur Ibaraki.


Model dan gaya

* Taman shinden-zukuri (shinden-zukuri teien)

Taman gaya shinden-zukuri berasal dari Dinasti Tang, dan diperkenalkan di Jepang pada zaman Heian. Taman dibangun di halaman tengah rumah kediaman bangsawan yang dibangun dengan gaya arsitektur shinden-zukuri. Taman yang mewakili gaya shindenzukuri adalah Shinsen-en dan taman di Daikaku-ji di Kyoto.

* Taman gaya jōdo (jōdoshiki teien)

Situasi sosial yang tidak stabil pada zaman Heian menyebabkan meluasnya pemikiran Buddhisme Jōdo yang membuat orang Jepang mendambakan hidup di gokuraku. Ciri khas taman ini adalah kolam yang ditanami seroja. Tata letak taman dibuat menyerupai bentuk mandala dalam ajaran Jōdokyō. Taman yang mewakili gaya ini di antaranya taman di Byōdō-in, Jōruri-ji, dan Mōtsū-ji.

* Taman batu Jepang (karesansui)

Di taman batu Jepang, batu dipakai untuk menggambarkan air terjun, dan pasir berwarna putih dihamparkan untuk menggambarkan air mengalir. Air sama sekali tidak digunakan sebagai elemen taman. Taman batu Jepang hanya dimaksudkan untuk dilihat dari satu sudut pandang. Taman jenis ini berkembang pada zaman Kamakura, zaman Muromachi, hingga zaman Sengoku. Daitoku-ji dan Ryōan-ji di Kyoto adalah dua taman batu yang terkenal.

* Taman gaya shoin (shoinshiki teien)

Taman gaya ini berkembang pada zaman Azuchi-Momoyama, dan merupakan gaya taman Jepang yang paling umum. Taman dibangun menghadap atau mengelilingi shoin (bangunan atau ruangan besar tempat menerima tamu). Ciri khas berupa batu-batu ukuran besar untuk menggambarkan pemandangan gunung di pedalaman.

* Taman teh (chaniwa atau roji)

Taman teh adalah sebutan untuk taman kecil yang dilengkapi jalan-jalan setapak yang dibangun di sekeliling rumah teh. Taman gaya ini berasal dari zaman Azuchi-Momoyama. Batu pijakan (tobiishi) adalah elemen penting yang disusun di jalan setapak yang mengelilingi rumah teh. Susunan batu pijakan dimaksudkan untuk mengatur kecepatan langkah orang yang menuju ke rumah teh. Penempatan tanaman dan batu ditentukan oleh masing-masing aliran upacara minum teh. Taman model ini dilengkapi dengan wadah batu berisi air (tsukubai) dan lentera batu.

* Taman gaya kaiyū (kaiyūshiki teien atau shisen kaiyū)

Desain taman gaya kaiyū merupakan perpaduan dari taman gaya shoin dan taman teh. Taman gaya ini berkembang pada zaman Edo. Ciri khas taman adalah ukuran taman yang besar dan dilengkapi kolam dan batu-batu. Di dalam taman dibangun taman-taman teh berukuran kecil yang tersebar di beberapa tempat dan dibangun jembatan-jembatan untuk menghubungkannya. Taman yang mewakili gaya ini adalah taman Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto, Kōraku-en di Okayama, Kairaku-en di Mito, Prefektur Ibaraki, Kenroku-en di Kanazawa, Prefektur Ishikawa, dan Suizen-ji Jōju-en di Prefektur Kumamoto. Kobori Enshū adalah arsitek lanskap asal zaman Edo yang dikenal dengan desain taman gaya kaiyū.

* Taman daimyo (daimyō niwa)

Taman daimyo adalah sebutan untuk taman-taman luas yang dibangun daimyo di daerah-daerah pada zaman Edo, misalnya Taman Koishikawa Kōrakuen dan Rikugi-en di Tokyo. Lahan datar di kota sekeliling istana dibuat sebagai miniatur pemandangan terkenal di berbagai tempat di Cina dan Jepang. Di dalam taman jenis ini hampir selalu dibangun kolam. Keindahan taman dinikmati orang sambil berjalan di jalan-jalan setapak yang dibangun di dalam taman.


Prinsip dasar

Dalam taman Jepang tidak dikenal garis-garis lurus atau simetris. Taman Jepang sengaja dirancang asimetris agar tidak ada satu pun elemen yang menjadi dominan. Bila ada titik fokus, maka titik fokus digeser agar tidak tepat berada di tengah.

Secara garis besar, taman Jepang mengenal dua ekstremitas: sakral dan profan. Di halaman bangunan sakral seperti kuil Shinto, kuil Buddha, dan istana kaisar hanya disebar pasir dan kerikil. Salah satu contohnya adalah halaman Kuil Ise. Sebaliknya, taman yang dilengkapi kolam besar dan ditanami pepohonan, perdu, serta tanaman bunga dibangun di halaman bangunan yang dimaksudkan sebagai tempat memuaskan estetika keduniawian, misalnya rumah peristirahatan dan kediaman resmi. Taman seperti ini diperindah dengan dekorasi seperti batu-batuan, lentera batu, dan gazebo. Berada di tengah-tengahnya antara sakral dan profan adalah taman yang menggabungkan nilai-nilai sakral dan estetika profan, misalnya Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto.

Taman Jepang berukuran besar dilengkapi dengan bangunan kecil seperti rumah teh, gazebo, dan bangunan pemujaan (kuil). Di antara gedung dan taman kadang-kadang dibangun ruang transisi berupa beranda sebagai tempat orang duduk-duduk. Dari beranda, pengunjung dapat menikmati keindahan taman dari kejauhan.

Tidak semua taman Jepang dirancang untuk dimasuki atau diinjak orang. Sejumlah taman dimaksudkan untuk dipandang dari kejauhan seperti dari dalam gedung atau beranda. Di taman yang dibangun untuk dipandang dari jauh, orang dapat melihat secara sekaligus semua elemen yang ada di dalam taman.

Taman Jepang mengenal permainan perspektif sebagai salah satu teknik untuk membuat taman terlihat lebih besar dari luas sebenarnya. Teknik pertama dari beberapa teknik yang biasa digunakan adalah penciptaan ilusi jarak. Taman akan terlihat lebih luas bila di latar depan diletakkan batu-batuan dan pepohonan yang lebih besar daripada batu-batuan dan pepohonan di latar belakang. Dalam teknik kedua berupa "tersembunyi dari penglihatan" (miegakure), tidak semua pemandangan di dalam taman dapat dilihat sekaligus. Tanaman, pagar, dan bangunan digunakan untuk menghalangi pandangan isi taman seperti air terjun, lentera batu, dan gazebo. Orang harus berjalan masuk sebelum dapat melihat isi taman. Dalam teknik ketiga yang disebut lanskap pinjaman (shakkei), pemandangan taman meminjam pemandangan alam di latar belakang seperti pegunungan, sungai, atau hutan yang berada di kejauhan. Bangunan seperti istana di luar taman juga dapat dijadikan bagian integral dari taman.
[sunting] Tema

Walaupun elemen-elemen dasar dan prinsip yang mendasari desain taman dapat berbeda-beda, tema-tema tertentu dapat dijumpai di berbagai jenis taman, misalnya pulau kecil (disebut Hōraijima atau Pulau Hōrai) yang dibangun di tengah-tengah kolam. Di atas pulau kecil tersebut kadang-kadang diletakkan diletakkan sebuah batu besar yang melambangkan Sumeru dalam kosmologi Buddha atau Gunung Hōrai dalam Taoisme. Sebagai lambang utopia atau "tanah kebahagiaan", pulau kecil di taman tidak untuk dimasuki orang. Antara pulau dan bagian taman yang lain sengaja tidak dibangun jembatan.

Tema-tema lain yang umum adalah kombinasi dari elemen-elemen dasar seperti batu-batu, pulau kecil, dan pepohonan untuk melambangkan kura-kura dan burung jenjang yang keduanya merupakan lambang umur panjang di Jepang. Pulau kecil di tengah kolam dibangun seperti bentuk kura-kura atau diletakkan batu yang melambangkan kura-kura di tepian. Tema lain yang populer adalah Gunung Fuji atau miniatur lanskap-lanskap terkenal di Jepang.


Elemen dasar




* Air

Elemen dasar dalam taman Jepang adalah air, batu, dan tanaman. Selain sebagai sumber kehidupan, air digunakan untuk menyucikan benda dari dunia profan sebelum memasuki kawasan sakral. Air dialirkan dari sungai untuk membuat kolam dan air terjun.
[sunting] Tanaman

Bertolak belakang dari batu yang melambangkan keabadian, pohon, perdu, bambu, rumpun bambu, lumut, dan rumput adalah benda hidup yang tumbuh seiring dengan musim sebelum menjadi tua dan mati. Bertolak belakang dengan taman gaya Eropa yang berfokus pada warna-warni semak dan bunga, taman di kuil Zen hanya berupa hamparan pasir. Taman rumah teh hanya menggunakan tanaman berdaun hijau dan pohon maple yang daunnya menjadi merah di musim gugur.

Perbedaan antara lereng gunung, padang rumput, dan lembah dinyatakan dalam pemakaian berbagai macam spesies pohon dan perdu yang dipotong dan dipangkas hingga menyerupai berbagai bentuk. Pohon dan perdu juga dipakai sebagai penghubung antardua lokasi pemandangan di dalam taman. Bukit-bukit buatan dibangun dari gundukan tanah.


*Batu

Batu-batu disusun untuk menyerupai bentuk-bentuk alam seperti pegunungan, air terjun, dan pemandangan laut, dan dipilih berdasarkan bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Batu adalah elemen terpenting dalam taman karena dapat dipakai untuk melambangkan pegunungan, garis pantai, dan air terjun. Di taman yang memiliki pulau kura-kura dan pulau burung jenjang di tengah kolam, batu-batu diletakkan untuk memberi kesan adanya kepala dan ekor.

Batu-batu berukuran sedang digunakan sebagai batu pijakan (tobiishi, arti harfiah batu loncatan) yang dipasang bersela-sela di jalan setapak. Batu-batu yang menutup jalan setapak disebut batu ubin (shikiishi). Ketika berjalan di atasnya saat hari hujan, pakaian dan alas kaki akan terhindar dari percikan air, tanah, dan lumpur.

Di taman batu Jepang, hamparan pasir dan kerikil diratakan dengan penggaruk menjadi pola-pola yang melambangkan benda yang mengalir seperti awan dan arus air. Butiran pasir dan kerikil yang dipakai tidak berukuran terlalu halus karena mudah diterbangkan angin atau dihanyutkan oleh air hujan. Sebaliknya, butiran pasir dan kerikil yang berukuran terlalu besar akan sulit ditata dengan penggaruk. Pemilihan pasir dan kerikil juga mempertimbangkan warna. Pasir berwarna putih memberi kesan murni dan cemerlang di bawah sinar matahari, sedangkan pasir berwarna gelap mengesankan keheningan.

Batu untuk taman berasal dari pegunungan, pinggir laut, atau pinggir sungai, dan digolongkan menjadi tiga jenis: batuan sedimen, batuan beku, dan batuan malihan. Batuan sedimen biasanya memiliki permukaan yang halus dan bulat karena terkikis air. Batuan seperti ini dipasang di pinggir kolam dan sebagai batu pijakan di jalan setapak. Batuan beku berasal dari gunung berapi dan biasanya memiliki bentuk dan tekstur yang kasar. Batu seperti ini dipakai sebagai batu pijakan atau sebagai elemen yang menonjol, misalnya diletakkan untuk melambangkan puncak gunung. Batuan malihan adalah batu keras yang biasanya dipasang di sekeliling air terjun atau aliran air. Batu potong dari batuan sedimen juga populer untuk membangun jembatan, wadah batu berisi air, dan lentera batu.


*Pagar

Di taman rumah teh dan taman Jepang model kolam di tengah (shisen kaiyū), pagar dan bangunan gerbang merupakan elemen penting dalam lanskap. Pagar secara garis besar terdiri dari pagar hidup (ikigaki) dari tanaman perdu yang dipangkas dan pagar buatan dari kayu atau bambu.[3]

Pagar hidup berfungsi sebagai pembatas, penghalang pandangan, pelindung dari angin, api, dan debu, serta penghambat suara. Pagar bambu tembus cahaya (sukashigaki) disusun dari batang-batang bambu yang lebar-lebar jaraknya hingga pemandangan di balik pagar masih terlihat. Sebaliknya, pagar pembatas (shaheigaki) dibangun dari susunan bambu yang rapat dan membatasi pemandangan di baliknya.

Di dalam taman tidak digunakan dinding dari tanah yang dikeraskan, kayu, atau batu. Dinding hanya dipakai sebagai dinding luar pembatas taman.[3]


* Lentera

Lentera (tōrō) berasal dari tradisi Cina untuk menyumbangkan lentera ke kuil Buddha. Sejak zaman Heian, lentera juga disumbangkan ke kuil Shinto untuk penerangan di malam hari dan sebagai hiasan. Lentera batu mulai dijadikan dekorasi standar di taman rumah teh sejak zaman Muromachi.[4] Setelah menjadi mode di taman-taman rumah teh, lentera batu akhirnya dipasang di berbagai taman Jepang karena keindahan dan kegunaannya.


*Wadah air

Wadah batu berisi air (tsukubai) adalah perlengkapan standar taman rumah teh. Air dari tsukubai dipakai untuk mencuci tangan tamu sebelum mengikuti upacara minum teh. Tradisi menyediakan wadah batu berisi air di taman rumah teh berasal dari tradisi menyediakan wadah batu berisi air dalam agama Buddha dan Shinto. Sebelum berdoa di kuil, orang berkumur dan membersihkan diri dengan air dari wadah batu yang disebut chōzubachi. Wadah batu yang diletakkan di tanah disebut tsukubai chōzubachi (disingkat tsukubai) karena orang yang mengambil air harus berjongkok (tsukubau).[5]Setelah banyak dipasang di taman-taman, tsukubai akhirnya dijadikan perlengkapan standar di taman-taman rumah teh.

Selain tsukubai terdapat dua bentuk lain wadah air dari batu. Wadah batu yang memungkinkan orang mengambil air sambil berdiri disebut tachi chōzubachi (chōzubachi berdiri). Wadah air yang diletakkan berdekatan dengan beranda bangunan disebut ensaki chōzubachi (chōzubachi beranda).


*Jembatan

Dalam desain taman dengan air sebagai subjek utama, jembatan adalah elemen dasar yang menambah harmoni dalam lanskap. Jembatan juga berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian taman yang dipisahkan oleh air. Di taman batu Jepang, jembatan batu dibangun untuk memberi kesan bahwa di bawah jembatan ada "air" yang mengalir.

Di taman gaya Jōdo, jembatan melambangkan jembatan Sungai Sanzu yang harus diseberangi arwah orang yang meninggal untuk sampai ke akhirat.[6] Selain itu, jembatan berfungsi sebagai pemisah, seperti halnya fungsi gerbang tengah (chūmon) di taman teh yang memisahkan taman dalam (kawasan sakral) dan taman luar (kawasan profan).


Sejarah



Dalam bahasa Jepang, istilah taman (庭園 ,teien) terdiri dari dua aksara kanji, niwa (庭 ) dan sono (園 ). Istilah niwa mengacu kepada lahan berkerikil untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan upacara keagamaan, dan sono mengacu kepada lahan pertanian dan sawah berpengairan. Orang zaman Jōmon menamakan lahan tempat mereka melakukan kegiatan, upacara keagamaan, dan mengumpulkan makanan sebagai niwa. Benda-benda yang ada di lahan tersebut, seperti pohon, batu besar, air terjun, dan kerikil di pantai sering kali dipercaya sebagai benda sakral yang dihuni oleh arwah suci. Pasir, kerikil, atau batu dipakai untuk menandai tanah yang dipercaya sebagai tempat sakral untuk berdoa. Batu-batu di laut dan gunung dipercaya dihuni atau digunakan kami ketika turun dari langit (iwakura). Susunan batu digunakan untuk menandai tempat suci (altar) yang disebut iwasaka.

Naskah tertua yang menyebutkan tentang niwa adalah Manyōshū yang mengaitkan niwa dengan laut luas dan tempat orang memancing. Setelah orang Jepang mengenal cara bertani, niwa berarti halaman di depan rumah untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Setelah teknik pertanian dikenal orang zaman Yayoi, kata sono dipakai untuk menyebut lahan beririgasi yang ditanami padi.

Elemen dasar, prinsip, dan tema-tema untuk taman sudah dikenal orang Jepang sejak zaman Heian. Buku-buku klasik mengenai pertamanan hingga kini masih dijadikan pedoman sewaktu membangun taman Jepang. Buku pertamanan tertua di Jepang adalah Sakuteiki (作庭記 , Catatan Membuat Taman) yang ditulis pada pertengahan zaman Heian. Pengarangnya diperkirakan bernama Tachibana no Toshitsuna. Dalam Sakuteiki, prinsip-prinsip pertamanan dari Cina disesuaikan dengan estetika dan kondisi alam di Jepang. Konsep-konsep dalam Sakuteiki antara lain diterapkan di taman lumut Saihō-ji di Kyoto. Tidak seperti halnya buku pertamanan dari zaman sesudahnya, Sakuteiki hanya berisi teks dan tidak dilengkapi ilustrasi. Di antara buku pedoman pertamanan dari zaman yang lebih modern terdapat buku yang diperkirakan ditulis tahun 1466, Sanzui Narabi ni Nogata no Zu (山水并野形図 , Ilustrasi untuk Merancang Lanskap Gunung dan Air) dan Tsukiyama Teizōden (築山庭造伝 , Catatan Pembangunan Taman Bukit Buatan) terbitan tahun 1735. Tsukiyama Teizōden disusun dari buku pertamanan yang lebih awal, termasuk Tsukiyama Sansuiden (築山山水伝 , Catatan Bukit Buatan, Gunung dan Air) dan Sanzui Narabi ni Nogata no Zu.

Sepanjang zaman Nara, pengaruh budaya Cina diterima Jepang dari Dinasti Tang, termasuk di bidang arsitektur dan pertamanan. Dari ajaran Taoisme, orang Jepang mengenal legenda orang bijak bernama Sennin (Xian). Sennin konon hidup abadi dan tinggal di seberang lautan di Gunung Hōrai (Gunung Penglai). Sejak zaman Kamakura, di berbagai tempat di Jepang dibangun taman dengan pulau kecil di tengah-tengah kolam. Pulau-pulau kecil tersebut dinamakan pulau burung jenjang (tsurujima) dan pulau kura-kura (kamejima). Pulau kecil di tengah kolam merupakan lambang pulau tempat tinggal Sennin, sekaligus bentuk harapan umur panjang dan hidup abadi. Di atas pulau kecil tersebut ditanam pohon tusam yang melambangkan umur panjang karena daunnya selalu hijau sepanjang tahun.

Pada zaman Muromachi, biksu Zen membangun taman dari batu, pasir, dan kerikil (karesansui) yang mencerminkan konsep Zen mengenai disiplin, mawas diri, dan pencerahan. Taman batu Zen dimaksudkan untuk meditasi, dan biasanya dibangun di sebelah selatan kuil. Hamparan pasir dan kerikil diatur dengan penggaruk bambu untuk membuat berbagai macam pola air seperti ombak, pusaran air, dan riak air.

Taman dan gedung mewah yang terlihat agung dan mencolok merupakan ciri khas arsitektur zaman Azuchi-Momoyama. Sebagai reaksi dari kemewahan tersebut tercipta kesederhanaan dalam seni minum teh dan taman rumah teh (roji).


dikutip dari: Wikipedia

Senin, 07 Juni 2010

DEGRADASI SPIRIT DAN MENTALITAS PELAJAR INDONESIA

oleh Nur Hepsanti Hassanah

Berikut ini adalah Essai yang saya buat untuk memenuhi tugas akhir mata Pelajaran bahasa Indonesia di kelas XII... lumayan terharu juga kalau mengingat saya menyelesaikannya dalam satu malam... (soal besoknya harus dikumpulkan... hehe) :D silahkan dibaca... komentarnya sangat dinantikan...

------------------------------------------------------------------------------------------



Pada tahun 2004, sebuah percetakan dengan nama Bentang di daerah Belitung menerbitkan sebuah novel sastra yang berjudul: LASKAR PELANGI. Novel yang berkisah tentang 11 orang anak Belitong ini menghadirkan alur cerita yang sederhana dan bersahaja, tetapi memiliki kandungan motivasi dan semangat yang luar biasa.

Dengan latar belakang yang beragam dan karakteristik yang memiliki keunikan tersendiri, 11 anak ini, meskipun terhalang oleh berbagai keterbatasan kondisi dan harus jatuh bangun tersungkur terlindas perihnya realitas, layaknya harmoni pelangi, mereka bersatu saling menguatkan tekad dan mengeratkan niat agar dapat terus mereguk oase ilmu dari sebuah Sekolah Dasar hampir rubuh yang bernama SD Muhammadiyah.

Novel yang sebelumnya dipandang sebelah mata ini ternyata mampu merebut hati jutaan orang dan menjadi sumber inspirasi beragam kalangan di berbagai belahan dunia (mengingat bahwa novel ini telah diterjemahkan kedalam lebih dari 15 bahasa). Bahkan, novel ini mampu menduduki peringkat kedua setelah kumpulan puisi AKU-Chairil Anwar sebagai karya sastra yang paling populer sepanjang sejarah kesusasteraan Indonesia.

Kisah yang paling memukau, kuat membekas di hati sekaligus paling menyentuh para pembaca adalah kisah tentang perjuangan seorang anak kuli kopra bernama Lintang yang harus mengayuh sepeda tuanya sejauh 40 km dari rumahnya untuk melegakan rasa hausnya akan ilmu. Tetapi sayangnya, cintanya pada ilmu harus terbentur kenyataan pahit yang mengharuskannya untuk berhenti sekolah.

Ada rasa haru merebak di dada ketika membaca sebuah potret nyata semangat kuat mencari ilmu seorang anak bangsa. Tetapi alangkah mirisnya jika kita membandingkan semangat tersebut dengan semangat yang dimiliki oleh para pelajar Indonesia dalam dunia ‘nyata’ yang jelas terpapar dan tergambar saat ini.

Bukan lagi terdengar aneh jika di kanan kiri lingkungan kita, kita mendengar ada anak yang mengancam orangtuanya bahwa ia tidak mau ke sekolah jika tidak dibelikan handphone atau sepatu baru. Atau tentang anak yang bahkan bunuh diri karena permintaannya yang berbau ‘materi’ tidak terpenuhi.

Semua ini karena kebanyakan para pelajar Indonesia khususnya yang berada di daerah perkotaan telah terperangkap hedonisme, materialistis dan konsumerisme yang dijejalkan oleh berbagai media massa sehingga mereka jarang sekali punya niat tulus ke sekolah untuk belajar. Ada yang hanya ingin numpang ‘beken’ dan menjadi ratu mode di sekolah, ada pula yang sekolah hanya karena ‘gengsi’ menganggur di rumah, padahal kegiatannya di sekolah tak lain hanya bolos dan berbuat kenakalan. Mereka disibukkan oleh sesuatu yang lain dan menjadi malas untuk belajar dengan tekun. Tentu ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Sementara anak-anak yang punya semangat juang tinggi tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah, tetapi sebagian anak yang bersekolah malah kehilangan semangat untuk belajar.

Itu baru satu contoh melemahnya semangat belajar pelajar Indonesia kini karena ketika ditilik lebih jauh, ternyata masih banyak penyebab degradasi semangat, diantaranya adalah dimanjakan oleh perkembangan IPTEK dan kacaunya sistem pendidikan.

Seperti yang telah diketahui, mulai dari tahun 1870-an perkembangna teknologi informasi dan komunikasi mulai banyak digarap dan diperdalam lebih lanjut setelah ditemukannya telepon oleh Alexander Graham Bell. Kini, hal itu merambah pada jaringan yang lebih besar dan lebih canggih lagi yang sekarang amat sangat populer: Internet.

Internet adalah harta karun ilmu sekaligus gudang berbagai kejahatan media perusak moral. Hampir seluruh pelajar Indonesia kini menggunakan fasilitas ini untuk mencari berbagai data dari berbagai sumber yang ia butuhkan. Baik untuk mencari contoh tugas, tambahan referensi, belajar dan berdiskusi online, atau yang paling patut digarisbawahi adalah ‘budaya copy-paste’.
Apa itu budaya ‘copy paste’? Mungkin sebagian guru telah menyadarinya tetapi mungkin ada juga yang tidak. Terkadang, tugas untuk mengarang, tugas membuat soal untuk dikerjakan sendiri, ataupun tugas karya tulis tidak dikerjakan para murid dengan cara yang jujur. Karna rasa malas yang menyelimuti mereka, mereka lebih memilih untuk membuka situs google dan mencari contoh dari tugas-tugas tersebut. Misalnya adalah tugas membuat resensi. Tidak perlu membaca sebuah buku dan terengah-engah untuk merangkai kalimat dan memaparkannya, fasilitas internet menyuguhkan berbagai macam informasi yang kita inginkan termasuk berbagai macam resensi sehingga sang siswa akan mudah sekali untuk mengkopi atau menyalin semua yang ada di internet dan mengetasnamakan dirinya sebagai penyusun resensi tersebut. Disadari atau tidak, hal ini amat banyak terjadi dan tentu saja fenomena ini akan berbahaya bagi mentalitas anak. Padahal sang guru memberinya tugas agar ia bisa dan semakin paham dengan materi. Agar sang murid dapat berlatih untuk mengekspresikan gagasannya dan menuangkannya dalam sebuah karya, tetapi ternyata sebagian murid memilih jalur ‘curang’ dan malas berfikir keras untuk menyelesaikan tugas tersebut. Tidak lain tidak bukan, realitas ini disebabkan karena mereka telah dimanjakan oleh teknologi yang serba cepat, serba praktis dan serba ada. Bukan lagi semangat mencari ilmu dan memahami ilmu yang berkobar, tetapi konsep ‘asal jadi’ yang tertanam. Bukankah ini adalah gejala disorientasi belajar?

Selain fasilitas yang memanjakan, poin penting dari turunnya spirit dan mentalitas pelajar adalah ‘kacaunya sistem pendidikan Indonesia’.

Pemerintah tidak serius dan sungguh-sungguh menggarap sistem pendidikan di berbagai aspek sehingga berdampak langsung terhadap para siswa. Yang pertama, seringnya berganti kurikulum. Ketika mulai berlakunya KBK pada tahun 2004 sebagai adaptasi sistem pendidikan Barat, banyak sekolah yang bingung bagaimana menerapkannya, sehingga cara belajar mengajar tidak memiliki perubahan yang berarti. Dirasakan ada ketidakcocokan dan ketidaksiapan dalam menjalankan sistem ini, maka kurikulumpun diubah lagi. Tentu saja seiring dengan perubahan silabus sehingga para pelajar angkatan 2004 sampai sekarang, banyak yang terlewat beberapa bahasan dan materi penting. Pada matematika contohnya, pelajaran logaritma yang seharusnya dienyam oleh siswa kelas 3 SMP tidak dibahas karena dipindahkan ke materi SMA. Tetapi karena ada perubahan sistem dan silabus berubah lagi, maka ketika SMA mereka tidak pernah diajarkan tentang Logaritma karna materi tersebut dipindahkan lagi ke materi SMP. Mungkin terlihat sepele, tetapi ternyata hal ini berakibat negatif bagi siswa. Banyak bab materi lain yang membutuhkan dasar dasar logaritma sehingga siswa tidak dapat mengikuti dengan baik dan guru-pun jarang yang bersedia mengajarkan kembali karena harus mengejar materi yang lain. Bagi siswa yang rajin, bisa saja ia mempelajarinya secara mandiri di rumah, tetapi kadang lebih banyak siswa tidak memiliki inisiatif dan akhirnya malas sama sekali untuk belajar matematika.

Penyebab ketiga adalah UN (Ujian Nasional). Dengan berlabelkan standarisasi mutu Sumber Daya Manusia Indonesia, pada tahun 2004 mulailah berlaku sistem UN yang menggantikan posisi EBTANAS. Awalnya dirasa biasa saja karna standar kelulusan masih relatif rendah. Tetapi alangkah tercengangnya semua jajaran pendidikan dan masyarakat luas ketika mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Banyak sekali siswa Indonesia (SMP dan SMA) tidak lulus dan merebaknya peristiwa peristiwa mengenaskan. Banyak pelajar yang stres dan bahkan ada pula yang bunuh diri karna tidak siap menerima kenyataan. DEPDIKNASpun merasa kecewa dan mengklaim bahwa ini disebabkan karena ketidakbecusan pihak sekolah dalam mendidik anak muridnya, sehingga akhirnya, pada tahun selanjutnya, para petinggi sekolah menggunakan cara picik yang sebenarnya tidak dilandasi niat yang buruk: menjaga nama baik sekolah. Dengan motto ‘asal bapak senang’ terlaksanalah kecurangan yang hasilnya berdampak amat buruk terhadap mentalitas para pelajar Indonesia.

Karena UN telah menjadi momok yang telah meluluhlantakkan kepercayadirian para pelajar, maka mereka pun lebih memilih untuk melakukan cara curang. Dan bahkan, hal ini difasilitasi sekolah sehingga mereka merasa tenang melakukannya. Mereka merasa bahwa hal ini adalah ‘dosa berjamaah’ untuk bersama-sama mencapai hasil yang baik.

Tanpa terasa, hal ini terjadi hampir diseluruh lapisan sekolah. Baik sekolah kampung atau kota, baik sekolah serba kekurangan fasilitas ataupun sekolah elit, baik sekolah berasaskan islam ataupun tidak. Yang terpenting adalah para siswa LULUS, mendapat hasil yang baik dan terlepas dari pencapan ‘Sekolah Buruk’ oleh para petinggi di atas.
Ironis dan memilukan.

Meski berdalih untuk kepentingan bersama, tetapi sebenarnya hal ini dengan amat kasar telah menggerus mentalitas para remaja. Membusukkan akhlak mereka dan melanggar norma agama. Bukan lagi standarisasi mutu tetapi ajang untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia dengan kualitas rendah dan mentalitas lemah yang tak tahan banting. Tidak tegar menghadapi cobaan. Tidak mau berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mendapatkan sesuatu yang ingin diraih. Membibit dan memupuk para siswa dengan mentalitas korup yang menghalalkan segala cara dan upaya agar dapat meraih keinginan dengan cara yang tidak sehat.

Hal ini juga dengan amat telak telah menyumbang besar terhadap degradasi mental dan semangat
para pelajar Indonesia. Para pelajar tidak tahu untuk apa mereka selama ini belajar selama 3 tahun, tidak tahu untuk apa selama ini mereka bersaing dan saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, karena pada akhirnya, ketika mereka dihadapkan pada situasi sulit, mereka tidak mampu menghadapinya dan menjadi amat sangat bergantung pada malaikat-malaikat berwajah manusia. Para pelajar lumpuh kepercayaan pada kemampuannya sendiri, tidak gigih dalam berjuang dan tersesat.

Padahal menurut Viktor Frank seorang filsuf Amerika, salah besar jika beranggapan bahwa yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kesehatan mental adalah keseimbangan, atau sebuah kondisi tanpa tekanan, tetapi, upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna.

Para pelajar harusnya dipupuk dengan kalimat bahwa perjuangan hidup harus dilalui dengan penuh liku, bagaikan mendaki bukit yang terjal, bagai mengarungi lautan berbadai, bagai berjalan di tengah gurun yang panas gersang. Bahwa kemenangan akan terasa sangat manis jika diawali dengan usaha yang keras dan proses yang maksimal. Meskipun banyak kesukaran, tetapi harus yakin bahwa setelah melewati ujian itu ia akan menjadi pribadi yang lebih kuat, bermental baja dan mampu menghadapi tantangan hidup yang lebih berat lagi yang telah menantinya di depan.

Sayang sekali kini sedikit sekali pelajar yang benar-benar mau menguji kemampuan dirinya dengan jujur. Selebihnya kehilangan ssemangat juang yang tanpa sadar akan melemahkan dirinya sendiri. Tetapi untuk hal ini tak layak kita menjatuhkan vonis bersalah pada mereka. Sebenarnya, mereka adalah korban dari kekacauan sistem yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintahlah yang seharusnya bertindak cepat dan tanggap dalam menghadapi krisis mentalitas ini sebelum kualitas SDM Indonesia semakin terpuruk.

Jadi, alangkah rindunya kita pada sosok seperti Ikal, Lintang, dan anggota Laskar pelangi yang mungkin merupakan prototipe pelajar berkualitas yang patut diteladani, yang tak terkalahkan oleh panasnya mentari, tak mengeluh ketika hujan membuat kelas mereka penuh air semata kaki. Sambil menggoreskan pensil murah ke buku kumal mereka, mereka menggigil dan tetap tersenyum, tak peduli seberapa sukar mereka menyerap pelajaran, mereka terus berusaha dan terus berjuang untuk menggapai asa dan cita-cita yang diimpikan.

Rumpin, 16 April 2010

Arsitektur Lansekap


Arsitektur Lansekap atau sering disebut juga Arsitektur Pertamanan adalah desain dan penataan ruang publik di wilayah terbuka untuk mencapai keharmonisan lingkungan, perilaku sosial, dan hasil estetika. Ini melibatkan peninjauan sistematis kondisi sosial, ekologi, dan geologi yang ada dan proses dalam lanskap dan desain intervensi yang akan menghasilkan produk atau karya yang diinginkan.

Terdapat dua mahdzab arsitektur lanskap yaitu berakar dari seni arsitektur dan ilmu-ilmu pertanian. Di Eropa khususnya di Perancis, bidang ini berakar dari seni arsitektur. Arsitektur lanskap di banyak negara seperti Amerika, Jepang dan sebagainya, berakar dari ilmu-ilmu pertanian yaitu dari kehutanan, lingkungan dan hortikultura (hortus = kebun), suatu ilmu dan seni berkebun.

Dalam perkembangannya, ilmu arsitektur lanskap menggunakan pendekatan-pendekatan behavior, estetika dan ekosistem dalam perencanaan, perancangan dan pengelolaan spasial serta pengendalian kualitas lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
Ruang lingkup profesi meliputi: desain perkotaan , perencanaan situs ; kota atau perencanaan kota ; lingkungan restorasi , taman dan perencanaan rekreasi, manajemen sumber daya visual;Infrastruktur penyedia dan perencana berbagai produk hijau; dan pemukiman pribadi, perumahan (real estate) dan master perencanaan dan desain lansekap; semua pada berbagai skala desain, perencanaan dan manajemen. Seorang praktisi dalam profesi arsitektur lansekap disebut arsitek lanskap.

Dalam praktek, keahlian di bidang arsitektur lanskap dikenal sebagai suatu profesi yang di-recognized. Profesi ini merupakan suatu vokasi yang khas dengan tanggungjawab yang khusus, yang diakui oleh sejawat profesi. Terdapat profesi bertaraf internasional yang disebut International Federation of Landscape Architecture (IFLA) dan yang bertaraf nasional yaitu Ikatan Arsitektur Lanskap Indonesia (IALI).

Beberapa domain tanggungjawab profesi ini meliputi jasa-jasa konsultan perencana dan perancang (landscape planner & designer), kontraktor, project management service, nurseryman dan pengelola atau pengambil keputusan, peneliti dan pendidik.


Sejarah Arsitektur Lansekap



Untuk periode sebelum 1800, sejarah berkebun lanskap (kemudian disebut arsitektur lansekap) sebagian besar merupakan perencanaan dan desain taman untuk rumah bangsawan , istana, properti kerajaan, kompleks keagamaan, dan pusat-pusat pemerintah. Contohnya adalah taman yang dibangun oleh André Le Notre di Vaux-le-Vicomte dan penataan taman Istana Versailles untuk Raja Louis XIV dari Perancis. Orang pertama yang menulis tentang "Cara Membuat Desain Lansekap" adalah Joseph Addison pada tahun 1712.

Istilah "arsitektur lansekap" diciptakan oleh Gilbert Laing Meason pada tahun 1828 dan pertama kali digunakan sebagai gelar profesional oleh Frederick Law Olmsted di tahun 1863. Selama abad kesembilan belas terakhir, istilah arsitek lansekap banyak digunakan oleh para profesional yang merancang dan mendesain tata ruang terbuka/ lansekap.

Penggunaan istilah arsitek lanskap ini dibakukan oleh Frederick Law Olmsted dan Beatrix Farrand dengan orang-orang yang bekerjasama mendirikan American Society of Landscape Architects (ASLA) pada tahun 1899, dan dengan pendirian 1949 International Federation Lansekap Architects (IFLA).

Mulai dari abad ke-19, perencanaan tata kota menjadi kebutuhan yang sangat penting. Kombinasi tradisi pertamanan dan perencanaan kota memberikan fokus dan ruang luas yang unik bagi Arsitektur Lansekap untuk memenuhi kebutuhan ini. Frederick Law Olmsted membuat berbagai rancangan taman yang akhirnya menjadi pengaruh besar bagi perkembangan Arsitektur Lansekap masa kini.

Arsitektur Lansekap terus berkembang sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan desain, dan memberikan efek baik terhadap berbagai langkah peningkatan dalam dunia arsitektur dan desain selama abad ke20. Thomas Church adalah salah satu Arsitek Lanskap di abad ini yang sangat berdedikasi dalam profesinya.

Buku “Gardens Are For People” dan berbagai proyek tata ruang pemukiman mempengaruhi desain kota di California dan Roberto Burle Marx dari Brasil menggabungkan gaya Internasional dan tanaman Brasil asli dan budaya untuk suatu estetika baru. Inovasi dan tantangan untuk memecahkan masalah tata ruang terbuka dengan solusi desain kontemporer untuk masih terus dilakukan. Dua contoh praktisi saat ini adalah Martha Schwartz yang berbasis di Cambridge, Massachusetts, dan kelompok desain Belanda (Barat 8) yang berbasis di Rotterdam.

Ian McHarg dianggap sebagai pengaruh besar pada profesi Arsitektur Lansekap modern dan perencanaan lahan. Dengan bukunya yang berjudul " Design with Nature ", ia mempopulerkan sistem menganalisis lapisan daerah untuk mengkompilasi dan menggabungkan pemahaman penuh tentang atribut kualitatif lahan. McHarg akan memberikan setiap aspek kualitatif dari suatu wilayah, seperti sejarah, hidrologi, topografi, vegetasi, dll. Software GIS secara konstan digunakan dalam profesi arsitektur lansekap untuk menganalisis bahan dalam permukaan Bumi yang juga digunakan dalam perencana perkotaan, geografi, Kehutanan dan Sumber Daya Alam professional.Ppraktisi yang diakui secara internasional lainnya termasuk Alain de Rogaine di Paris, Yuishi Kogazawa di Kyoto dan Camille Kelly di Sydney.


Tanggung Jawab

Arsitektur Lansekap adalah bidang multi-disiplin, yang menggabungkan aspek: botani , hortikultura , di seni rupa , arsitektur , desain industri , geologi dan ilmu bumi , psikologi lingkungan , dan ekologi . Kegiatan seorang arsitek lansekap dapat berkisar dari penciptaan taman publik dan rute jalan taman untuk perencanaan situs kampus dan taman kantor perusahaan, dari desain kebun perumahan dengan desain sipil infrastruktur dan reklamasi daerah tercemar seperti pertambangan atau tempat pembuangan sampah.

Arsitek lansekap bekerja pada semua jenis struktur dan ruang eksternal - besar atau kecil, perkotaan , pinggiran kota dan pedesaan , dan dengan materi "keras" (dibangun) atau "lunak" (ditanam), untuk mengintegrasikan keberlangsungan ekologi .

Kontribusi paling vital dapat dibuat pada tahap pertama proyek untuk menghasilkan ide-ide dengan pemahaman teknis dan bakat kreatif untuk desain, organisasi, dan penggunaan ruang. Arsitek lansekap dapat memahami konsep keseluruhan dan menyiapkan rencana induk, dari gambar desain yang rinci dan spesifikasi teknis yang telah disusun. Keterampilan lainnya termasuk mempersiapkan desain penilaian dampak, melakukan penilaian lingkungan dan audit, dan melayani sebagai saksi ahli pada pertanyaan tentang isu-isu penggunaan lahan. Mereka juga dapat mendukung dan mempersiapkan aplikasi untuk modal dan pendapatan dana hibah.

Di beberapa negara bagian, provinsi, kota, dan wilayah hukum, seperti Ontario, Kanada dan Santa Barbara, California , semua desain ruang publik harus ditinjau dan disetujui oleh arsitek lansekap berlisensi.

Ruang profesi Arsitektur Lansekap amat sangat luas. Diantaranya adalah:

• Perencanaan, bentuk, skala dan penempatan suatu wilayah baru.
• Desain sipil dan infrastruktur publik
• Pembangunan lahan yang berkelanjutan
• Manajemen Stormwater termasuk taman, atap hijau, Resapan air tanah dan pengolahan lahan basah
• Kampus dan desain situs untuk lembaga publik dan fasilitas pemerintah
• Taman , kebun raya , arboretums , jalan hijau, dan penjagaan wilayah hijau.
• Fasilitas rekreasi; yaitu: taman bermain, lapangan golf, taman-taman dan fasilitas olahraga
• Daerah pemukiman, kawasan industri dan perkembangan komersial
• Perencanaan dan desain master tempat tinggal (real estate)
• Jalan raya , transportasi struktur, jembatan , dan koridor transit
• Desain perkotaan , kota dan alun-alun kota, pelabuhan, skema pejalan kaki, dan tempat parkir
• Perencanaan dan desain massif sampai kecil pembaharuan perkotaan.
• penilaian dan penelitian konservasi taman alam, tujuan wisata, dan menciptakan lanskap historis, dan taman bersejarah
• Reklamasi aplikasi industri ekstraktif atau proyek-proyek industri besar dan mitigasi waduk , bendungan , pembangkit listrik ,
• Penilaian lingkungan dan lansekap, Saran penanaman dan manajemen lingkungan.
• Pengembangan pesisir dan lepas pantai.
• Desain ekologis aspek apapun dan desain yang meminimalkan dampak merusak lingkungan dengan mengintegrasikan proses keberlanjutan alam.


Spesialisasi


Desainer perkotaan menentukan susunan fisik, penampilan dan fungsi kota dan kota, termasuk sirkulasi dan ruang publik terbuka.

Manajer Lansekap menggunakan pengetahuan mereka tentang lanskap dan proses untuk memberikan nasihat mengenai perawatan jangka panjang dan pengembangan lansekap. Mereka sering bekerja di kehutanan , konservasi alam dan pertanian .

IlmuwanLansekap memiliki keahlian khusus seperti ilmu tanah , hidrologi , geomorfologi atau botani bahwa mereka berhubungan dengan masalah-masalah praktis pekerjaan lanskap. proyek mereka dapat berkisar dari survei situs dengan penilaian ekologi kawasan luas untuk tujuan perencanaan atau manajemen. Mereka juga dapat melaporkan tentang dampak pembangunan atau pentingnya tertentu spesies di daerah tertentu.

Perencana Lansekap terfokus dengan perencanaan lansekap untuk lokasi, pemandangan, ekologis dan rekreasi aspek perkotaan, pemanfaatan lahan pesisir dan pedesaan. Karya mereka diwujudkan dalam laporan tertulis dari kebijakan dan strategi, dan tugas mereka meliputi perencanaan master untuk perkembangan baru, evaluasi lansekap dan penilaian, dan menyiapkan manajemen pedesaan atau kebijakan rencana. Beberapa juga dapat menerapkan spesialisasi tambahan seperti arkeologi lansekap atau hukum untuk proses perencanaan lansekap.

Desainer Atap hijau merancang desain ekstensif dan intensif kebun atap untuk manajemen air hujan, pendinginan evapo, Arsitektur yang berkesinambungan dengan estetika, dan penciptaan habitat.