Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label sastra dan humaniora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra dan humaniora. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 31 Juli 2010

PEMIMPIN, REFLEKSI NYATA PERADABAN

Oleh: Nur Hepsanti Hasanah

Pada Tahun 1960-an, Nelson Mandella dengan gagah berani mengkritik dan menentang politik apartheid dengan keras, berbagai cara gigih beliau lakukan untuk menghapus diskriminasi masal yang telah mengakibatkan berbagai kerugian, perpecahan dan perseteruan yang menyelimuti bermacam kalangan. Meski harus keluar-masuk bui, disiksa dan dikucilkan dari kancah perpolitikkan, tetapi akhirnya perjuangan beliau membuahkan hasil manis yang berefek sangat besar dalam sejarah dunia.

6 April 1453 M, Muhammad II Al-Fatih menaklukan daratan Eropa dalam naungan Islam dan menjadi salah satu Muslim yang menggoreskan dan mencetakkan tinta emas. Menghadirkan kejayaan setelah perjuangan yang dahsyat dan berat melawan Konstantinopel yang konon tak tertaklukan.

Abad ke-Empat, Nabi Muhammad SAW berjuang menyibak tabir zahiliyah dan sedikit demi sedikit menghadirkan cahaya kebenaran bagi masyarakat Arab. Meski lagi-lagi cibir dan cemooh yang beliau dapat, tetapi tak pernah terbersit sedikitpun oleh beliau untuk berhenti menegakkan agama Allah. Pribadi tangguh dan kekuatan besar dalam diri beliau untuk terus berjuang akhirnya melahirkan generasi-generasi yang luarbiasa, yang ikut mendukung beliau dan menaati beliau sebagai khalifah. Beliau adalah sosok besar, pemimpin umat yang paling mulia. Teladan dalam setiap langkah yang tak pernah usang tergerus zaman.

Pemimpin, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II adalah Orang yang memimpin, membimbing, dan menunjukkan. Memimpin berarti ia akan dengan tegas dan gigih menggiring kelompoknya mencapai suatu tujuan. Membimbing dalah tindakan persuatif untuk bersama-sama bergerak menuju petak rancangan yang telah diimpikan dengan mengikuti persis apa yang sang pemimpin anjurkan. Menunjukkan, pemimpinlah yang harus tahu kemanakah selanjutnya mereka –ia dan kelompoknya- akan melangkah, pemimpin harus mengerti fase apakah yang berikutnya harus ditempuh. Pemimpin bukan hanya harus menemukan jalan, tetapi iapun sosok yang menunjukkan jalan. Ia tahu badai dan topan apa saja yang akan menghadang, tapi ia pun harus yakin bahwa di akhir tujuan, ada cahaya keemasan yang akan menyambut mereka dengan terang benderang.

Kita harus menyadari betapa penting arti dan keberadaan pemimpin bagi suatu kelompok, organisasi, ataupun kalangan masyarakat luas. Bingung akan arah tujuan dan tak tahu harus bagaimana dan dengan cara apa bergerak adalah contoh tak adanya pemimpin dalam kelompok atau pribadi tersebut. Sosok pemimpin adalah tiang utama tegaknya massa dan kompas tercanggih yang akan menggiring kita menuju tujuan yang diinginkan bersama.

Tak ayal, Pemimpin haruslah pribadi yang istimewa. Pemancar vibrasi positif dan bersahaja. Pemimpin bukanlah baja yang harus membengkokan dan menundukkan sang paku dengan paksa. Pemimpin adalah sosok yang akan dihormati tanpa paksaan, pemimpin adalah orang yang dihargai karna apa yang telah ia perbuat dan kontribusinya terhadap kelompok tersebut. Pemimpin bukanlah orang yang memproklamirkan dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin, tetapi ia didukung penuh, diseru dengan kuat, dan diakui dengan bangga oleh anggota kelompoknya.

Karakteristik seorang pemimpin tak bisa dijabarkan secara eksak, bersifat abstrak dan mengandung senyawa implisit. Tidaklah harus seseorang yang sempurna rupa, kuat fisik dan raga ataupun cakap dalam beretorika. Ia juga bukan Malaikat yang memiliki semua elemen kesempurnaan. Malah, pemimpin harusnya orang yang sangat memahami bahwa dirinya kurang dan alpha dalam berbagai hal, ia tahu bahwa ia sangat membutuhkan para pendampingnya untuk menepuk bahunya dan mengatakan ia salah. Pemimpin adalah orang yang berani mengakui kekurangan dan kelemahannya sehingga ia pun membuka pintu koreksi dengan lebar.

Terlatih dalam mengorganisir sesuatu, hal inilah yang pertama dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Membimbing sekian orang dalam suatu kelompok tentu bukan hal yang mudah dan sepele, apalagi tentu saja pola pikir dan kehendak tiap individu akan berbeda. Menyusun, menelaah, dan mengkombinasikan seluruhnya menjadi sebuah kesatuan, keahlian untuk mengorganisir inilah yang dapat amat sangat diandalkan.

Juara Problem solving. Masalah dan ujian akan selalu datang silih berganti dengan kemudahan dan kelapangan. Cekatan dalam menyelesaikan masalah adalah ciri vital yang harus dimiliki sang pemimpin. Ketegasan akan jadi pedang yang sangat berguna untuk mengantisipasi perpecahan jika berbagai problematika datang. Apakah otoritas itu baik? Bermusyawarah dan mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan akan mengeratkan ikatan antar anggota kelompok. Para anggota kelompok juga akan merasa di dengar dan diperhatikan aspirasinya sehingga mereka akan semakin menghargai pemimpinnya. Tetapi tak berarti semua masalah harus diselesaikan dengan cara tersebut. Ada kalanya jalan buntu menghadang diskusi pemecahan masalah. Disinilah sang pemimpin dapat menggunakan otoritasnya. Ia memiliki alternatif tersendiri yang ia keluarkan dan ia putuskan sebagai jalan kaluar dari masalah yang tengah dialami.
Dekat dengan para anggotanya. Pemimpin yang ramah dan supel tak hanya akan dihargai, tetapi ia juga akan menyisakan tempat di hati para anggotanya. Dirindukan keberadaannya, dinantikan kehaadirannya. Berbaur dan sering berinteraksi dengan berbagai macam karakter akan membangun pribadi yang akan selalu mengerti dan memahami keadaan.

Power atau kekuatan lebih yang dimiliki oleh pemimpin bukanlah alat untuk mempertahankan hegemoni. Amatlah dangkal jika kekuasan adalah tempat utama di hati sang pemimpin. Karena sosok pemimpin seperti itu adalah sosok yang akan menghantam dan menekan potensi-potensi kepemimpinan yang tumbuh dan muncul dalam pribadi anggotanya. Ia akan menghalangi siapapun yang berusaha untuk menggeser tempat duduknya dalam bangku kekuasaan. Masa Orde Baru adalah gambaran nyata bahwa hegemoni telah melenakan sang Pemimpin dan membuatnya melakukan apapun untuk mempertahankan kekuasaan tersebut, bahkan dengan cara-cara yang picik dan busuk. Tak ayal, hal ini hanya akan berakibat kehancuran dan goresan tinta hitam dalam sejarah hidupnya dan tentu saja bukan ini yang ingin dituju.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat melihat jelas potensi para anggotanya. Ia akan dengan amat bersemangat melatih dan menggali potensi tersbut, agar suatu saat, ada para pemimpin baru berkualitas tinggi yang akan menggantikan posisinya dan ikut meneruskan perjuangannya. Artinya, Pemimpin adalah sosok besar dalam pengembangan Sumber Daya dan potensi para anggotanya.

Setiap individu telah dianugerahi Tuhan oleh berbagai bakat dan potensi. Jeli dalam menemukan hal tersebut dalam diri para anggotanya dan berusaha mengembangkannya adalah tugas sang pemimpin. Karena itu, amat eratlah koneksi antara pemimpin dan Pengembangan Sumber Daya dalam bidang apapun. Selain menggapai titik utama dalam perjalan, pemimpin juga harus concern dalam mengguar dan memaksimalkan potensi-potensi yang ada. Mengadakan berbagai kegiatan yang kompetitif dan mengasah kemampuan kemampuan khusus. Memfasilitasi mulai dari motivasi, sampai hal yang real seperti pendidikan adalah metode yang ampuh untuk memuncratkan semangat untuk menjadi lebih baik lagi dalam diri para angggotanya.

Pemimpin adalah Arsitek peradaban. Pemimpin adalah Koreografer Sejarah, desainer bangsa dan penanam benih Persatuan. Cerminan nyata dari civitas dan eksistensi kelompoknya. Lebih jauh lagi, Pemimpinlah yang memegang tanggung jawab besar dalam menjaga kredibilitas kelompok, ikon yang akan menjadi teladan anggotanya. Karena bagaimanapun, kualitas suatu kelompok akan terlihat dari integritas pemimpinnya. Mata pihak luar hanya akan tertuju pada tokoh utama dalam cerita. Jika pemimpinnya tak berkualitas, tak tegas dan bingung menentukan arah, maka hanya akan ada seringai mengejek dari pihak luar, karena tahu bahwa kelompok tersbut bukanlah kelompok kuat yang patut diperhitungkan dalam kancah hidup. Sebaliknya, jika sang pemimpin memiliki integritas yang tinggi, pribadi yang mempesona dan kebersahajaan, maka ribuan bahkan jutaan mata akan kagum dan angkat topi karena salut akan kegemilangan kelompok tersebut.

Para pemimpin terdahulu telah menggoreskan berjuta warna dalam diary peradaban. Pemimpin nanti akan mengisi ruang ruang kosong dan mengukirkan sejarah kegemilangan, Sementara Pemimpin saat ini, adalah gambaran bening, potret hidup, dan refleksi nyata dari intisari zaman.

Senin, 07 Juni 2010

DEGRADASI SPIRIT DAN MENTALITAS PELAJAR INDONESIA

oleh Nur Hepsanti Hassanah

Berikut ini adalah Essai yang saya buat untuk memenuhi tugas akhir mata Pelajaran bahasa Indonesia di kelas XII... lumayan terharu juga kalau mengingat saya menyelesaikannya dalam satu malam... (soal besoknya harus dikumpulkan... hehe) :D silahkan dibaca... komentarnya sangat dinantikan...

------------------------------------------------------------------------------------------



Pada tahun 2004, sebuah percetakan dengan nama Bentang di daerah Belitung menerbitkan sebuah novel sastra yang berjudul: LASKAR PELANGI. Novel yang berkisah tentang 11 orang anak Belitong ini menghadirkan alur cerita yang sederhana dan bersahaja, tetapi memiliki kandungan motivasi dan semangat yang luar biasa.

Dengan latar belakang yang beragam dan karakteristik yang memiliki keunikan tersendiri, 11 anak ini, meskipun terhalang oleh berbagai keterbatasan kondisi dan harus jatuh bangun tersungkur terlindas perihnya realitas, layaknya harmoni pelangi, mereka bersatu saling menguatkan tekad dan mengeratkan niat agar dapat terus mereguk oase ilmu dari sebuah Sekolah Dasar hampir rubuh yang bernama SD Muhammadiyah.

Novel yang sebelumnya dipandang sebelah mata ini ternyata mampu merebut hati jutaan orang dan menjadi sumber inspirasi beragam kalangan di berbagai belahan dunia (mengingat bahwa novel ini telah diterjemahkan kedalam lebih dari 15 bahasa). Bahkan, novel ini mampu menduduki peringkat kedua setelah kumpulan puisi AKU-Chairil Anwar sebagai karya sastra yang paling populer sepanjang sejarah kesusasteraan Indonesia.

Kisah yang paling memukau, kuat membekas di hati sekaligus paling menyentuh para pembaca adalah kisah tentang perjuangan seorang anak kuli kopra bernama Lintang yang harus mengayuh sepeda tuanya sejauh 40 km dari rumahnya untuk melegakan rasa hausnya akan ilmu. Tetapi sayangnya, cintanya pada ilmu harus terbentur kenyataan pahit yang mengharuskannya untuk berhenti sekolah.

Ada rasa haru merebak di dada ketika membaca sebuah potret nyata semangat kuat mencari ilmu seorang anak bangsa. Tetapi alangkah mirisnya jika kita membandingkan semangat tersebut dengan semangat yang dimiliki oleh para pelajar Indonesia dalam dunia ‘nyata’ yang jelas terpapar dan tergambar saat ini.

Bukan lagi terdengar aneh jika di kanan kiri lingkungan kita, kita mendengar ada anak yang mengancam orangtuanya bahwa ia tidak mau ke sekolah jika tidak dibelikan handphone atau sepatu baru. Atau tentang anak yang bahkan bunuh diri karena permintaannya yang berbau ‘materi’ tidak terpenuhi.

Semua ini karena kebanyakan para pelajar Indonesia khususnya yang berada di daerah perkotaan telah terperangkap hedonisme, materialistis dan konsumerisme yang dijejalkan oleh berbagai media massa sehingga mereka jarang sekali punya niat tulus ke sekolah untuk belajar. Ada yang hanya ingin numpang ‘beken’ dan menjadi ratu mode di sekolah, ada pula yang sekolah hanya karena ‘gengsi’ menganggur di rumah, padahal kegiatannya di sekolah tak lain hanya bolos dan berbuat kenakalan. Mereka disibukkan oleh sesuatu yang lain dan menjadi malas untuk belajar dengan tekun. Tentu ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Sementara anak-anak yang punya semangat juang tinggi tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah, tetapi sebagian anak yang bersekolah malah kehilangan semangat untuk belajar.

Itu baru satu contoh melemahnya semangat belajar pelajar Indonesia kini karena ketika ditilik lebih jauh, ternyata masih banyak penyebab degradasi semangat, diantaranya adalah dimanjakan oleh perkembangan IPTEK dan kacaunya sistem pendidikan.

Seperti yang telah diketahui, mulai dari tahun 1870-an perkembangna teknologi informasi dan komunikasi mulai banyak digarap dan diperdalam lebih lanjut setelah ditemukannya telepon oleh Alexander Graham Bell. Kini, hal itu merambah pada jaringan yang lebih besar dan lebih canggih lagi yang sekarang amat sangat populer: Internet.

Internet adalah harta karun ilmu sekaligus gudang berbagai kejahatan media perusak moral. Hampir seluruh pelajar Indonesia kini menggunakan fasilitas ini untuk mencari berbagai data dari berbagai sumber yang ia butuhkan. Baik untuk mencari contoh tugas, tambahan referensi, belajar dan berdiskusi online, atau yang paling patut digarisbawahi adalah ‘budaya copy-paste’.
Apa itu budaya ‘copy paste’? Mungkin sebagian guru telah menyadarinya tetapi mungkin ada juga yang tidak. Terkadang, tugas untuk mengarang, tugas membuat soal untuk dikerjakan sendiri, ataupun tugas karya tulis tidak dikerjakan para murid dengan cara yang jujur. Karna rasa malas yang menyelimuti mereka, mereka lebih memilih untuk membuka situs google dan mencari contoh dari tugas-tugas tersebut. Misalnya adalah tugas membuat resensi. Tidak perlu membaca sebuah buku dan terengah-engah untuk merangkai kalimat dan memaparkannya, fasilitas internet menyuguhkan berbagai macam informasi yang kita inginkan termasuk berbagai macam resensi sehingga sang siswa akan mudah sekali untuk mengkopi atau menyalin semua yang ada di internet dan mengetasnamakan dirinya sebagai penyusun resensi tersebut. Disadari atau tidak, hal ini amat banyak terjadi dan tentu saja fenomena ini akan berbahaya bagi mentalitas anak. Padahal sang guru memberinya tugas agar ia bisa dan semakin paham dengan materi. Agar sang murid dapat berlatih untuk mengekspresikan gagasannya dan menuangkannya dalam sebuah karya, tetapi ternyata sebagian murid memilih jalur ‘curang’ dan malas berfikir keras untuk menyelesaikan tugas tersebut. Tidak lain tidak bukan, realitas ini disebabkan karena mereka telah dimanjakan oleh teknologi yang serba cepat, serba praktis dan serba ada. Bukan lagi semangat mencari ilmu dan memahami ilmu yang berkobar, tetapi konsep ‘asal jadi’ yang tertanam. Bukankah ini adalah gejala disorientasi belajar?

Selain fasilitas yang memanjakan, poin penting dari turunnya spirit dan mentalitas pelajar adalah ‘kacaunya sistem pendidikan Indonesia’.

Pemerintah tidak serius dan sungguh-sungguh menggarap sistem pendidikan di berbagai aspek sehingga berdampak langsung terhadap para siswa. Yang pertama, seringnya berganti kurikulum. Ketika mulai berlakunya KBK pada tahun 2004 sebagai adaptasi sistem pendidikan Barat, banyak sekolah yang bingung bagaimana menerapkannya, sehingga cara belajar mengajar tidak memiliki perubahan yang berarti. Dirasakan ada ketidakcocokan dan ketidaksiapan dalam menjalankan sistem ini, maka kurikulumpun diubah lagi. Tentu saja seiring dengan perubahan silabus sehingga para pelajar angkatan 2004 sampai sekarang, banyak yang terlewat beberapa bahasan dan materi penting. Pada matematika contohnya, pelajaran logaritma yang seharusnya dienyam oleh siswa kelas 3 SMP tidak dibahas karena dipindahkan ke materi SMA. Tetapi karena ada perubahan sistem dan silabus berubah lagi, maka ketika SMA mereka tidak pernah diajarkan tentang Logaritma karna materi tersebut dipindahkan lagi ke materi SMP. Mungkin terlihat sepele, tetapi ternyata hal ini berakibat negatif bagi siswa. Banyak bab materi lain yang membutuhkan dasar dasar logaritma sehingga siswa tidak dapat mengikuti dengan baik dan guru-pun jarang yang bersedia mengajarkan kembali karena harus mengejar materi yang lain. Bagi siswa yang rajin, bisa saja ia mempelajarinya secara mandiri di rumah, tetapi kadang lebih banyak siswa tidak memiliki inisiatif dan akhirnya malas sama sekali untuk belajar matematika.

Penyebab ketiga adalah UN (Ujian Nasional). Dengan berlabelkan standarisasi mutu Sumber Daya Manusia Indonesia, pada tahun 2004 mulailah berlaku sistem UN yang menggantikan posisi EBTANAS. Awalnya dirasa biasa saja karna standar kelulusan masih relatif rendah. Tetapi alangkah tercengangnya semua jajaran pendidikan dan masyarakat luas ketika mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Banyak sekali siswa Indonesia (SMP dan SMA) tidak lulus dan merebaknya peristiwa peristiwa mengenaskan. Banyak pelajar yang stres dan bahkan ada pula yang bunuh diri karna tidak siap menerima kenyataan. DEPDIKNASpun merasa kecewa dan mengklaim bahwa ini disebabkan karena ketidakbecusan pihak sekolah dalam mendidik anak muridnya, sehingga akhirnya, pada tahun selanjutnya, para petinggi sekolah menggunakan cara picik yang sebenarnya tidak dilandasi niat yang buruk: menjaga nama baik sekolah. Dengan motto ‘asal bapak senang’ terlaksanalah kecurangan yang hasilnya berdampak amat buruk terhadap mentalitas para pelajar Indonesia.

Karena UN telah menjadi momok yang telah meluluhlantakkan kepercayadirian para pelajar, maka mereka pun lebih memilih untuk melakukan cara curang. Dan bahkan, hal ini difasilitasi sekolah sehingga mereka merasa tenang melakukannya. Mereka merasa bahwa hal ini adalah ‘dosa berjamaah’ untuk bersama-sama mencapai hasil yang baik.

Tanpa terasa, hal ini terjadi hampir diseluruh lapisan sekolah. Baik sekolah kampung atau kota, baik sekolah serba kekurangan fasilitas ataupun sekolah elit, baik sekolah berasaskan islam ataupun tidak. Yang terpenting adalah para siswa LULUS, mendapat hasil yang baik dan terlepas dari pencapan ‘Sekolah Buruk’ oleh para petinggi di atas.
Ironis dan memilukan.

Meski berdalih untuk kepentingan bersama, tetapi sebenarnya hal ini dengan amat kasar telah menggerus mentalitas para remaja. Membusukkan akhlak mereka dan melanggar norma agama. Bukan lagi standarisasi mutu tetapi ajang untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia dengan kualitas rendah dan mentalitas lemah yang tak tahan banting. Tidak tegar menghadapi cobaan. Tidak mau berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mendapatkan sesuatu yang ingin diraih. Membibit dan memupuk para siswa dengan mentalitas korup yang menghalalkan segala cara dan upaya agar dapat meraih keinginan dengan cara yang tidak sehat.

Hal ini juga dengan amat telak telah menyumbang besar terhadap degradasi mental dan semangat
para pelajar Indonesia. Para pelajar tidak tahu untuk apa mereka selama ini belajar selama 3 tahun, tidak tahu untuk apa selama ini mereka bersaing dan saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, karena pada akhirnya, ketika mereka dihadapkan pada situasi sulit, mereka tidak mampu menghadapinya dan menjadi amat sangat bergantung pada malaikat-malaikat berwajah manusia. Para pelajar lumpuh kepercayaan pada kemampuannya sendiri, tidak gigih dalam berjuang dan tersesat.

Padahal menurut Viktor Frank seorang filsuf Amerika, salah besar jika beranggapan bahwa yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kesehatan mental adalah keseimbangan, atau sebuah kondisi tanpa tekanan, tetapi, upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna.

Para pelajar harusnya dipupuk dengan kalimat bahwa perjuangan hidup harus dilalui dengan penuh liku, bagaikan mendaki bukit yang terjal, bagai mengarungi lautan berbadai, bagai berjalan di tengah gurun yang panas gersang. Bahwa kemenangan akan terasa sangat manis jika diawali dengan usaha yang keras dan proses yang maksimal. Meskipun banyak kesukaran, tetapi harus yakin bahwa setelah melewati ujian itu ia akan menjadi pribadi yang lebih kuat, bermental baja dan mampu menghadapi tantangan hidup yang lebih berat lagi yang telah menantinya di depan.

Sayang sekali kini sedikit sekali pelajar yang benar-benar mau menguji kemampuan dirinya dengan jujur. Selebihnya kehilangan ssemangat juang yang tanpa sadar akan melemahkan dirinya sendiri. Tetapi untuk hal ini tak layak kita menjatuhkan vonis bersalah pada mereka. Sebenarnya, mereka adalah korban dari kekacauan sistem yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintahlah yang seharusnya bertindak cepat dan tanggap dalam menghadapi krisis mentalitas ini sebelum kualitas SDM Indonesia semakin terpuruk.

Jadi, alangkah rindunya kita pada sosok seperti Ikal, Lintang, dan anggota Laskar pelangi yang mungkin merupakan prototipe pelajar berkualitas yang patut diteladani, yang tak terkalahkan oleh panasnya mentari, tak mengeluh ketika hujan membuat kelas mereka penuh air semata kaki. Sambil menggoreskan pensil murah ke buku kumal mereka, mereka menggigil dan tetap tersenyum, tak peduli seberapa sukar mereka menyerap pelajaran, mereka terus berusaha dan terus berjuang untuk menggapai asa dan cita-cita yang diimpikan.

Rumpin, 16 April 2010