Idul Fitri yang sangat indah. Bersilaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara, bertemu dengan orang-orang terkasih yang sudah lama tak bersua. Suasana yang dirindukan setiap tahun, dinanti dan didamba. Momen besar dimana maaf jadi udara dan memaafkan jadi hidung yang menghirupnya dengan lega.
Aku makhluk yang tak banyak bersosialisasi di lingkungan masyarakat sekitarku. Kuper simpelnya. Sangat kuper malah. Superduperextrakuper malah… (cukupp hepp)
Selama 4 tahun lebih tinggal di daerah pinggiran jalan di sebuah desa bernama janala, tak banyak yang kukenal. tak sering pula bertandang dan bersilaturahmi. Yahh… hanya dimomen inilah aku dan keluarga akhirnya berinteraksi dan mencoba menjadi bagian dari warga masyarakat yang baik. Sambil tersenyum ramah bersalaman, menanyakan kabar dan berkenalan. Burung-burung berkicau dan matahari bersinar cerah… Heaa… Saat-saat langka bak di dunia Teletubbies. Lalala….
Pada saat langka itu pula-lah kejadian yang merobek lukisan indah idul fitri tahun itu datang… tepat ketika aku dan keluargaku selesai bersilaturahmi di sebuah rumah bercat hijau, penghuninya seorang sepasang manula yang jaraknya tak jauh dari rumahku. Seorang ibu muda ditemani suami-nya beringsut mendekati rumah itu membawa bayinya yang berumur tak lebih dari 5 bulan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari sang pemilik rumah. Atmosfer nya berganti menjadi sinetron Indonesia.
“SIAPA KAMU?? NGAPAIN KAMU KESINI DASAR ORANG GILA!! PERGII KALIAANNN!! PERGI KALIANN!!”
Sang ibu tua berteriak teriak seperti kerasukan begitu melihat 3 orang itu datang. Ibu muda terkejut dan berkata terbata-bata, tapi tak jelas terdengar (miic!! Dimana mic-nya??!!). Sang ibu tua terus berteriak-teriak mengundang orang-orang di sekitar datang, suaminya coba menenangkan tetapi ibu itu terus mengamuk. 3 orang yang baru datang itu mematung, tak bisa berkata apa-apa. Bayinya mulai menangis dan ibu muda terisak-isak sambil dituntun oleh beberapa warga untuk pergi meninggalkan rumah tersebut. Lagi-lagi tak jelas apa yang mereka ributkan, hanya berbagai omongan sana sini yang terdengar.
Meskipun kejadian itu cukup seru, aku dan keluarga kembali ke rumah. Terdiam. Masing-masing menerka apa yang sebenarnya terjadi. Dan.. jujur saja, mood idul fitri-ku sedikit rusak saat itu. Apalagi ketika pasangan muda itu lewat di depan rumahku. Wajah si ibu memerah, ia dan bayinya terus menerus menangis. Suaminya menuntunnya tanpa berkata apa-apa. Ulu hatiku sakit melihatnya. Ketika semua tersenyum dengan pakaian terbaiknya, ketika semua sama-sama berharap menjadi putih bersih dengan saling maaf-memaafkan. Ada pula yang sedang terisak pilu karena tak mendapatkan sambutan seperti yang diharapkan.
Entahlah apa yang terjadi, mungkin ibu muda itu adalah anak sang pemilik rumah hijau yang sudah lama kabur dari rumah? Kawin lari tanpa kabar? Atau married by accident? Astagfirullah… otakku mulai kreatif berprasangka. kubiarkan hal-hal negatif mulai menyingkir dari kepalaku.
Satu yang pasti. Apapun yang telah dilakukan sang ibu muda, ia pasti sudah menyakiti sang ibu tua. Sangat menyakiti malah. Superduperextra menyakitiii malah. (cukupp hepp). Tidakkah seharusnya ia segera meminta maaf begitu membuat kesalahan? Agar rasa sakit itu tak jadi seperti duri yang lukanya kecil tetapi bisa membusukkan hati karna sangat lama tidak diobati. Apakah begitu sulitnya meminta maaf?
Ah, aku jadi teringat ketika pertengkaran-pertengkaran kecil terjadi antara aku dan adik-adikku. Sebagai seorang kakak, sudah menjadi kewajiban mutlak untuk mengalah (atau mengaku kalah?) dan meminta maaf. Rasanyaa suliiiittt sekali. Kubuat suaraku semikro mungkin dengan tampang ogah-ogahan. Ketika kupikirkan sekarang, lucu juga… apa susahnya sih minta maaf. Imbasnya berbaikan, kan? Bukankah itu bagus? Lalu terpikir hal lain… Harga diri? Ya… mungkin hal itu yang jadi salah satu kendala. Rasa malu karna bersalah bercampur dengan ego dari harga diri. Makanya meminta maaf jadi salah satu kegiatan yang paliing sulit untuk manusia lakukan. Prasangka akan ini dan itu, kemarahan yang belum mereda…. Bukankah begitu? Bahkan squidward-pun memasukkan kepalanya dalam gentong saat ingin meninta maaf pada spongebob, sampai pipi dan mukanya merah padam-membiru karna sulitnya mengeluarkan kata tersebut. Kata yang sederhana tapi amat sakral.
Bicara tentang sulitnya meminta maaf, tidakkah memberi maaf-pun adalah hal yang cukup sulit? Ketika jadi oknum yang tersakiti, pihak yang terluka dan dikhianati… bukankah terkadang kata maaf terlalu sepele untuk menawarkanya?
Nah… ironi dalam kejadian tadi…, ketika ada niatan dari sang ibu muda untuk meminta maaf, kenapa sang ibu tua tidak coba berlapang dada dan memberikan maaf dengan tulus? Sudah tiada lagikah kesempatan? Terlalu sakit dan perihkah untuk memaafkan?
Pernah ketika ada yang benar-benar membuatku marah, seseorang berkata “Maafin aja, hep… toh Allah yang menciptakan kita saja mau memberi ampun atas segala kesalahan dan dosa kita yang tak terhitung jumlahnya. Kenapa sesama manusia yang alfa tak bisa memaafkan satu sama lain?”
Ya, benar… tepatt sekali… sebesar apapun kesalahan seseorang terhadap kita, bukankah kita juga orang yang selalu melakukan salah? Bukankah kita juga insan yang slalu lupa dan alfa? jangan ragu memaafkan. Ketika ada salah, bahkan tanpa maaf pun, betapa mulianya jika kita mau terlebih dahulu memaafkan. Agar segalanya tak lagi jadi sesak yang menghimpit jiwa,membekukan hati. Lapangkan dada dan beranikan diri untuk memaafkan. Sesuliit apapun!
Ketika partner dalam organisasi ga sadar menyakiti, aku sering diam dan mendiamkan orang tersebut. Ga sadar juga aku marahh?? Kurang ajaarr!! Kujuteki dia, kuacuhkan dalam setiap kondisi. Ya ampuuun… ga minta maaf juga…. Aku ingin nangis… tapi aku juga lelah… akhirnya dengan lunglai kuhampiri…
“tahu, ga aku marah?”
“eh… i..iya… ga.. ehm… gimana, ya? Aku bingung, kamunya diem terus…”
“Ya minta maaf, dong!!”
“eh..eh,m…”
“Minta maaf supaya aku ga marah lagi! Capek tau! Peka dong jadi orang!!”
“iyaa.. maaf, maafin aku…. Aku minta maaf…”
Jess…. Serasa ada lautan yang membasahi hati. The ocean heaves up to my heart kata Rie Fu. Subhanallah, kata-kata itulah yang mampu menyelamatkan orang dari keputusasaan, memberikan hujan setelah kemarau gersang…
Tak hanya di hari yang fitri… alangkah baiknya jika kita tak lagi berat meminta maaf dan memberi maaf. Kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun… ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar