Cari Blog Ini

Senin, 07 Juni 2010

DEGRADASI SPIRIT DAN MENTALITAS PELAJAR INDONESIA

oleh Nur Hepsanti Hassanah

Berikut ini adalah Essai yang saya buat untuk memenuhi tugas akhir mata Pelajaran bahasa Indonesia di kelas XII... lumayan terharu juga kalau mengingat saya menyelesaikannya dalam satu malam... (soal besoknya harus dikumpulkan... hehe) :D silahkan dibaca... komentarnya sangat dinantikan...

------------------------------------------------------------------------------------------



Pada tahun 2004, sebuah percetakan dengan nama Bentang di daerah Belitung menerbitkan sebuah novel sastra yang berjudul: LASKAR PELANGI. Novel yang berkisah tentang 11 orang anak Belitong ini menghadirkan alur cerita yang sederhana dan bersahaja, tetapi memiliki kandungan motivasi dan semangat yang luar biasa.

Dengan latar belakang yang beragam dan karakteristik yang memiliki keunikan tersendiri, 11 anak ini, meskipun terhalang oleh berbagai keterbatasan kondisi dan harus jatuh bangun tersungkur terlindas perihnya realitas, layaknya harmoni pelangi, mereka bersatu saling menguatkan tekad dan mengeratkan niat agar dapat terus mereguk oase ilmu dari sebuah Sekolah Dasar hampir rubuh yang bernama SD Muhammadiyah.

Novel yang sebelumnya dipandang sebelah mata ini ternyata mampu merebut hati jutaan orang dan menjadi sumber inspirasi beragam kalangan di berbagai belahan dunia (mengingat bahwa novel ini telah diterjemahkan kedalam lebih dari 15 bahasa). Bahkan, novel ini mampu menduduki peringkat kedua setelah kumpulan puisi AKU-Chairil Anwar sebagai karya sastra yang paling populer sepanjang sejarah kesusasteraan Indonesia.

Kisah yang paling memukau, kuat membekas di hati sekaligus paling menyentuh para pembaca adalah kisah tentang perjuangan seorang anak kuli kopra bernama Lintang yang harus mengayuh sepeda tuanya sejauh 40 km dari rumahnya untuk melegakan rasa hausnya akan ilmu. Tetapi sayangnya, cintanya pada ilmu harus terbentur kenyataan pahit yang mengharuskannya untuk berhenti sekolah.

Ada rasa haru merebak di dada ketika membaca sebuah potret nyata semangat kuat mencari ilmu seorang anak bangsa. Tetapi alangkah mirisnya jika kita membandingkan semangat tersebut dengan semangat yang dimiliki oleh para pelajar Indonesia dalam dunia ‘nyata’ yang jelas terpapar dan tergambar saat ini.

Bukan lagi terdengar aneh jika di kanan kiri lingkungan kita, kita mendengar ada anak yang mengancam orangtuanya bahwa ia tidak mau ke sekolah jika tidak dibelikan handphone atau sepatu baru. Atau tentang anak yang bahkan bunuh diri karena permintaannya yang berbau ‘materi’ tidak terpenuhi.

Semua ini karena kebanyakan para pelajar Indonesia khususnya yang berada di daerah perkotaan telah terperangkap hedonisme, materialistis dan konsumerisme yang dijejalkan oleh berbagai media massa sehingga mereka jarang sekali punya niat tulus ke sekolah untuk belajar. Ada yang hanya ingin numpang ‘beken’ dan menjadi ratu mode di sekolah, ada pula yang sekolah hanya karena ‘gengsi’ menganggur di rumah, padahal kegiatannya di sekolah tak lain hanya bolos dan berbuat kenakalan. Mereka disibukkan oleh sesuatu yang lain dan menjadi malas untuk belajar dengan tekun. Tentu ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Sementara anak-anak yang punya semangat juang tinggi tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah, tetapi sebagian anak yang bersekolah malah kehilangan semangat untuk belajar.

Itu baru satu contoh melemahnya semangat belajar pelajar Indonesia kini karena ketika ditilik lebih jauh, ternyata masih banyak penyebab degradasi semangat, diantaranya adalah dimanjakan oleh perkembangan IPTEK dan kacaunya sistem pendidikan.

Seperti yang telah diketahui, mulai dari tahun 1870-an perkembangna teknologi informasi dan komunikasi mulai banyak digarap dan diperdalam lebih lanjut setelah ditemukannya telepon oleh Alexander Graham Bell. Kini, hal itu merambah pada jaringan yang lebih besar dan lebih canggih lagi yang sekarang amat sangat populer: Internet.

Internet adalah harta karun ilmu sekaligus gudang berbagai kejahatan media perusak moral. Hampir seluruh pelajar Indonesia kini menggunakan fasilitas ini untuk mencari berbagai data dari berbagai sumber yang ia butuhkan. Baik untuk mencari contoh tugas, tambahan referensi, belajar dan berdiskusi online, atau yang paling patut digarisbawahi adalah ‘budaya copy-paste’.
Apa itu budaya ‘copy paste’? Mungkin sebagian guru telah menyadarinya tetapi mungkin ada juga yang tidak. Terkadang, tugas untuk mengarang, tugas membuat soal untuk dikerjakan sendiri, ataupun tugas karya tulis tidak dikerjakan para murid dengan cara yang jujur. Karna rasa malas yang menyelimuti mereka, mereka lebih memilih untuk membuka situs google dan mencari contoh dari tugas-tugas tersebut. Misalnya adalah tugas membuat resensi. Tidak perlu membaca sebuah buku dan terengah-engah untuk merangkai kalimat dan memaparkannya, fasilitas internet menyuguhkan berbagai macam informasi yang kita inginkan termasuk berbagai macam resensi sehingga sang siswa akan mudah sekali untuk mengkopi atau menyalin semua yang ada di internet dan mengetasnamakan dirinya sebagai penyusun resensi tersebut. Disadari atau tidak, hal ini amat banyak terjadi dan tentu saja fenomena ini akan berbahaya bagi mentalitas anak. Padahal sang guru memberinya tugas agar ia bisa dan semakin paham dengan materi. Agar sang murid dapat berlatih untuk mengekspresikan gagasannya dan menuangkannya dalam sebuah karya, tetapi ternyata sebagian murid memilih jalur ‘curang’ dan malas berfikir keras untuk menyelesaikan tugas tersebut. Tidak lain tidak bukan, realitas ini disebabkan karena mereka telah dimanjakan oleh teknologi yang serba cepat, serba praktis dan serba ada. Bukan lagi semangat mencari ilmu dan memahami ilmu yang berkobar, tetapi konsep ‘asal jadi’ yang tertanam. Bukankah ini adalah gejala disorientasi belajar?

Selain fasilitas yang memanjakan, poin penting dari turunnya spirit dan mentalitas pelajar adalah ‘kacaunya sistem pendidikan Indonesia’.

Pemerintah tidak serius dan sungguh-sungguh menggarap sistem pendidikan di berbagai aspek sehingga berdampak langsung terhadap para siswa. Yang pertama, seringnya berganti kurikulum. Ketika mulai berlakunya KBK pada tahun 2004 sebagai adaptasi sistem pendidikan Barat, banyak sekolah yang bingung bagaimana menerapkannya, sehingga cara belajar mengajar tidak memiliki perubahan yang berarti. Dirasakan ada ketidakcocokan dan ketidaksiapan dalam menjalankan sistem ini, maka kurikulumpun diubah lagi. Tentu saja seiring dengan perubahan silabus sehingga para pelajar angkatan 2004 sampai sekarang, banyak yang terlewat beberapa bahasan dan materi penting. Pada matematika contohnya, pelajaran logaritma yang seharusnya dienyam oleh siswa kelas 3 SMP tidak dibahas karena dipindahkan ke materi SMA. Tetapi karena ada perubahan sistem dan silabus berubah lagi, maka ketika SMA mereka tidak pernah diajarkan tentang Logaritma karna materi tersebut dipindahkan lagi ke materi SMP. Mungkin terlihat sepele, tetapi ternyata hal ini berakibat negatif bagi siswa. Banyak bab materi lain yang membutuhkan dasar dasar logaritma sehingga siswa tidak dapat mengikuti dengan baik dan guru-pun jarang yang bersedia mengajarkan kembali karena harus mengejar materi yang lain. Bagi siswa yang rajin, bisa saja ia mempelajarinya secara mandiri di rumah, tetapi kadang lebih banyak siswa tidak memiliki inisiatif dan akhirnya malas sama sekali untuk belajar matematika.

Penyebab ketiga adalah UN (Ujian Nasional). Dengan berlabelkan standarisasi mutu Sumber Daya Manusia Indonesia, pada tahun 2004 mulailah berlaku sistem UN yang menggantikan posisi EBTANAS. Awalnya dirasa biasa saja karna standar kelulusan masih relatif rendah. Tetapi alangkah tercengangnya semua jajaran pendidikan dan masyarakat luas ketika mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Banyak sekali siswa Indonesia (SMP dan SMA) tidak lulus dan merebaknya peristiwa peristiwa mengenaskan. Banyak pelajar yang stres dan bahkan ada pula yang bunuh diri karna tidak siap menerima kenyataan. DEPDIKNASpun merasa kecewa dan mengklaim bahwa ini disebabkan karena ketidakbecusan pihak sekolah dalam mendidik anak muridnya, sehingga akhirnya, pada tahun selanjutnya, para petinggi sekolah menggunakan cara picik yang sebenarnya tidak dilandasi niat yang buruk: menjaga nama baik sekolah. Dengan motto ‘asal bapak senang’ terlaksanalah kecurangan yang hasilnya berdampak amat buruk terhadap mentalitas para pelajar Indonesia.

Karena UN telah menjadi momok yang telah meluluhlantakkan kepercayadirian para pelajar, maka mereka pun lebih memilih untuk melakukan cara curang. Dan bahkan, hal ini difasilitasi sekolah sehingga mereka merasa tenang melakukannya. Mereka merasa bahwa hal ini adalah ‘dosa berjamaah’ untuk bersama-sama mencapai hasil yang baik.

Tanpa terasa, hal ini terjadi hampir diseluruh lapisan sekolah. Baik sekolah kampung atau kota, baik sekolah serba kekurangan fasilitas ataupun sekolah elit, baik sekolah berasaskan islam ataupun tidak. Yang terpenting adalah para siswa LULUS, mendapat hasil yang baik dan terlepas dari pencapan ‘Sekolah Buruk’ oleh para petinggi di atas.
Ironis dan memilukan.

Meski berdalih untuk kepentingan bersama, tetapi sebenarnya hal ini dengan amat kasar telah menggerus mentalitas para remaja. Membusukkan akhlak mereka dan melanggar norma agama. Bukan lagi standarisasi mutu tetapi ajang untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia dengan kualitas rendah dan mentalitas lemah yang tak tahan banting. Tidak tegar menghadapi cobaan. Tidak mau berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mendapatkan sesuatu yang ingin diraih. Membibit dan memupuk para siswa dengan mentalitas korup yang menghalalkan segala cara dan upaya agar dapat meraih keinginan dengan cara yang tidak sehat.

Hal ini juga dengan amat telak telah menyumbang besar terhadap degradasi mental dan semangat
para pelajar Indonesia. Para pelajar tidak tahu untuk apa mereka selama ini belajar selama 3 tahun, tidak tahu untuk apa selama ini mereka bersaing dan saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, karena pada akhirnya, ketika mereka dihadapkan pada situasi sulit, mereka tidak mampu menghadapinya dan menjadi amat sangat bergantung pada malaikat-malaikat berwajah manusia. Para pelajar lumpuh kepercayaan pada kemampuannya sendiri, tidak gigih dalam berjuang dan tersesat.

Padahal menurut Viktor Frank seorang filsuf Amerika, salah besar jika beranggapan bahwa yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kesehatan mental adalah keseimbangan, atau sebuah kondisi tanpa tekanan, tetapi, upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna.

Para pelajar harusnya dipupuk dengan kalimat bahwa perjuangan hidup harus dilalui dengan penuh liku, bagaikan mendaki bukit yang terjal, bagai mengarungi lautan berbadai, bagai berjalan di tengah gurun yang panas gersang. Bahwa kemenangan akan terasa sangat manis jika diawali dengan usaha yang keras dan proses yang maksimal. Meskipun banyak kesukaran, tetapi harus yakin bahwa setelah melewati ujian itu ia akan menjadi pribadi yang lebih kuat, bermental baja dan mampu menghadapi tantangan hidup yang lebih berat lagi yang telah menantinya di depan.

Sayang sekali kini sedikit sekali pelajar yang benar-benar mau menguji kemampuan dirinya dengan jujur. Selebihnya kehilangan ssemangat juang yang tanpa sadar akan melemahkan dirinya sendiri. Tetapi untuk hal ini tak layak kita menjatuhkan vonis bersalah pada mereka. Sebenarnya, mereka adalah korban dari kekacauan sistem yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintahlah yang seharusnya bertindak cepat dan tanggap dalam menghadapi krisis mentalitas ini sebelum kualitas SDM Indonesia semakin terpuruk.

Jadi, alangkah rindunya kita pada sosok seperti Ikal, Lintang, dan anggota Laskar pelangi yang mungkin merupakan prototipe pelajar berkualitas yang patut diteladani, yang tak terkalahkan oleh panasnya mentari, tak mengeluh ketika hujan membuat kelas mereka penuh air semata kaki. Sambil menggoreskan pensil murah ke buku kumal mereka, mereka menggigil dan tetap tersenyum, tak peduli seberapa sukar mereka menyerap pelajaran, mereka terus berusaha dan terus berjuang untuk menggapai asa dan cita-cita yang diimpikan.

Rumpin, 16 April 2010

2 komentar:

  1. setuju sekali!!
    semakin berkembang zaman semakin berkurang tujuan utama untuk pergi ke sekolah..mungkin tidak semuanya tetapi tidak sedikit pula yang demikian...
    BANGKITLAH NEGERIKU!!

    BalasHapus