Indonesia adalah negara yang kaya.
Siapa yang masih tidak
setuju dengan pernyataan itu? Tidak! Tidak bisa digugat bahwa kita
memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Tanah andosol coklat yang
dari dalamnya menyembul subur ribuan komoditas pertanian. Dimana seorang
anak bisa makan singkong rebus yang lezat dari tongkat yang ia lempar.
Garis pantai dan laut yang luas terbentang. Ikan bahkan berlompatan
kepangkuan kita. Belum lagi kekayaan visual dari lanskap eksotik yang
kita punya. Memanjakan mata dan menggerakan bibir untuk senantiasa
bertasbih. Indonesia adalah negara kaya? Iya! Iya banget.
Fakta
pun membuktikan, Pendapatan Domestik Bruto Nasional kita menduduki
peringkat 16 (IMF 2011) di dunia. Posisi yang kedepannya akan terus merangkak naik
mengingat pertumbuhan ekonomi kita lebih dari 6%. Tentu saja ini kabar
yang menjanjikan dan menggembirakan. Pergerakan ekonomi ini yang akan
menjadi salah satu faktor keberhasilan dari berdirinya negara ini. Apa
penentu keberhasilannya? Tentu saja dengan tercapainya tujuan negara
Indonesia yang sudah dirumuskan oleh para pejuang proklamasi kita.
"(1)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
(2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa,
(4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial," (Pembukaan UUD 1945)
‘Memajukan
kesejahteraan umum’, saya bawahi kalimat tersebut karena saya yakini
bahwa sebenarnya poin yang lainpun memiliki muara yang sama;
kesejahteraan.
Sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat
(terlepas dr segala macam gangguan, kesukaran, dsb): (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi III)
Sebagian besar pengamat menyatakan bahwa
tingkat kesejahteraan suatu bangsa dapat diukur dari pendapatan
perkapita-nya. Kemapanan ekonomi akan memberikan bangsa tersebut
kemakmuran, keamanan dan keselamatan yang diidamkan. Indonesia yang kini
sedang mengalami kebangkitan ekonomi tentunya sedang melangkah perlahan
menuju keberhasilan itu. PDB Perkapita Indonesia meskipun masih berada
di urutan ke 120** dari 190 negara, sudah mengalami peningkatan nilai.
Kini, seharusnya, rata rata tingkat pendapatan penduduk sudah 2,7 juta/
bulan. Lumayan bukan? Angka kemiskinan pun semakin menurun perlahan.
Kurs yang sempat terjatuh dalam kini mulai tertatih naik.
Sudah sejahterakah bangsa ini?
'Prosperous'
adalah terjemahan bahasa Inggris dari kata Sejahtera. Tetapi
'prosperous' memiliki dimensi yang lebih sempit dari Sejahtera.
Prosperous lebih menekankan pada aspek material, sementara sejahtera
memiliki makna multidimensional. Ada tuntutan yang lebih dalam dari
sekedar materi untuk menjadi negara yang sejahtera. Karena itu, mulailah
bermunculan konsep baru untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa.
Gross Nastional Happines adalah salah satunya.
Gross National
Happiness (GNH) muncul untuk menyeimbangkan sisi fisik dari definisi
'bangsa sejahtera'. Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh Raja Bhutan
IV yang merasa 'mengejar kekayaan ekonomi' bukanlah hal yang tepat bagi
pemerintahannya untuk bangsanya. Ia merasa bahwa yang diperlukan bukan
hanya kemapanan material tetapi juga bathiniah. Berbagai indikator
dibuat untuk merumuskan kebahagiaan meliputi kondisi ekonomi,
lingkungan, politik, religi, budaya, kesehatan, termasuk aktivitas.
Banyak negara yang akhirnya terinspirasi dan mencoba mengukur tingkat
kebahagiaan nasional-nya. Ternyata banyak negara negara kaya yang
rakyatnya justru tidak bahagia. Tingkat kriminalitas yang tinggi maupun
banyaknya kasus stress berat terjadi di negara negara tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia belum secara resmi mengukur
GNH-nya. Beberapa lembaga yang tertarik mencoba memiliki hasil yang
beragam. Sebagian berpendapat bahwa kebahagiaan tidak dapat diukur
secara kognitif, ia terletak di hati tiap individunya. Sebagian lagi
berpendapat bahwa 'mengejar kebahagiaan' adalah rumus yang dapat
dijabarkan, sehingga usaha untuk mencapai itu bisa dirancang. Saya
sendiri sependapat dengan opini kedua. Karena saya seorang Arsitek.
Seorang perancang.
Latar
belakang pendidikan saya adalah Arsitektur. Awalnya ketika saya
melangkahkan kaki di bidang ini, saya mangira akan bertemu dengan
dinginnya besi dan kakunya konstruksi. Tetapi tidak. Bidang ini menempa
saya--kami, untuk jadi pemimpin utama dalam setiap keputusan yang kami
ambil. Kami tidak dituntut untuk sangat handal dalam menggambar, tapi
dalam mengolah ide. Kami tidak mendesain sesuka hati kami, tapi melalui
analisis dan sintesis. Kami tidak hanya berkenalan dengan material,
tetapi juga dengan bagaimana caranya memodifikasi perilaku manusia. Kami
bermain dengan ruang, berdansa dengan fungsi dan kelayakan, berkutat
dengan memaksimalkan manfaat. Setiap garis dan bentuk yang kami putuskan
untuk buat, akan dengan tegas dipertanyakan alasannya. Karena hal ini
berkaitan dengan efek setelah itu; bagaimana respon user (baca:
pengguna, masyarakat) terhadap desain tersebut? Bahagiakah mereka
dengannya?
Kebahagiaan.
Para Arsitek juga ingin meraih itu untuk penggunanya, dimana sebuah negara-pun ingin meraih itu untuk bangsanya.
Maka,
ketika kini bangsa Indonesia sudah bisa tersenyum dan bersemangat
melihat pertumbuhan ekonominya, apakah berarti tugas pemimpin negara
selesai? Apakah berarti pemimpin selanjutnya (dimana kita akan segera
menyongsong PEMILU 2014) mengemban amanah yang lebih ringan dibanding
sebelumnya? Tentu saja tidak. Masih ada level lain untuk menuju
kesejahteraan. Level selanjutnya adalah membahagiakan. Bagaimana
definisinya? Kita berada di titik apa saat ini dan harus sampai ke titik
mana di masa depan?
Saya akan menilik 'indeks kebahagiaan'
masyarakat Indonesia dengan pendekatan yang sederhana agar rumusan yang
dibuat bisa lebih sempit: kondisi sosial. Bagi saya, masalah sosial di
Indonesia sejauh ini dapat disimpulkan dalam satu kata saja: mentalitas.
Masyarakat Indonesia bukan lagi pribadi pribadi yang siap mengacungkan
bambu runcing melawan penjajah, namun pribadi pemalas yang hanya suka
update status di facebook dan mencaci maki di twitter. Mentalitas bangsa
Indonesia bukan lagi seorang pejuang, melainkan tukang komentar. Saya
rasa menandai hal ini menjadi bagian positif dari kebebasan berpendapat
tidak tepat. Yang ada mudahnya adu domba dan perpecahan lewat hal hal
yang sangat sepele. Egoisme dan suara pesimisme yang pekat ditumpahakan
dimana mana bahkan untuk kabar baik sekalipun. Jarang yang coba saling
mencerdaskan, bahkan para pemilik media berlomba lomba saling membodohi
bangsanya sendiri. Kini bahkan para pemuda-nya sekalipun tidak ragu
untuk mempromosikan video tawuran dan saling tertawa melihat temannya
terluka. Prestasi para pelajar dan mahasiswa sepi lapak, tetapi gosip
artis dan skandal pejabat ramai semarak.
Mungkin saja masyarakat
Indonesia sendiri bahagia bahagia saja dengan kondisi ini. Tapi bahagia
yang sakit. Bangsa Indonesia ini dari segi sosial sedang sakit.
Ketika dasar kondisi-nya sudah tahu. Sekarang kita mau melangkah kemana? Mau menyembuhkannya dengan cara apa?
Bagi
saya, justru tantangan terbesar bagi pemimpin Indonesia selanjutnya ada
disini; Bagaimana pertumbuhan ekonomi yang baik dapat berjalan
beriringan dengan masyarakat yang sehat.
Saya yakin bahwa masih
banyak pemimpin yang baik di Indonesia. Sosok yang mau
bersungguh-sungguh bekerja untuk bangsanya. Tetapi tentu saja hal
tersebut tidak cukup. Kerja keras dan kesungguhan harus diiringi dengan
kecerdasan dan kualitas seorang pemimpin negarawan. Salah satunya,
kualitas seorang arsitek.
Menarik ketika berbicara tentang
kualitas seorang Arsitek bagi Presiden. Saya teringat Soekarno yang juga
memiliki latar Belakang pendidikan sebagai Arsitek. Ketika masa pra
kepemimpinan dan saat kepemimpinannya, beliau merancang dengan hati hati
seluruh kebijakan dan langkah yang ia buat. Ia tidak membangun negara
dari segi fisik. Ia bermain dengan emosi rakyatnya karena ia tahu bahwa
ia tidak sedang membenahi infrastruktur, tetapi peradaban. Rancangan
rancangan kepemimpinannya adalah hasil olah pemikirannya tentang masalah
masalah rakyat di awal kemerdakaan. Ia sangat sadar bahwa ia berurusan
dengan sebuah 'masyarakat' yang responsif.
Kualitas untuk berfikir
respon ini juga selalu digaungkan oleh dosen dosen arsitektur saya.
Dalam buku "Responsive Environment" yang ditulis oleh 5 ahli tata ruang
dan arsitektur, sang perancang (baca: pemimpin) harus sangat paham bahwa
apapun keputusan dan tindakannya dalam membuat desain akan mempengaruhi
lingkungan dalam tujuh aspek psikologis.
1. Desainnya akan mempengaruhi kemana orang boleh dan tidak boleh pergi. Hal ini disebut 'permeability'.
2. Desainnya akan mempengaruhi banyaknya keberagaman fungsi yang tersedia untuk orang tersebut. Hal ini disebut 'variety'.
3. Desainnya akan mempengaruhi tingkat kemudahan orang dalam memahami
peluang peluang apa saja yang hadir dalam desain tersebut. Hal ini
disebut legibility.
4. Desainnya akan mempengaruhi perbedaan
penggunaan yang dapat digunakan oleh berbagai tingkat status seseorang.
Hal ini disebut robustness.
5. Desainnya akan mempengaruhi
interpretasi seseorang dalam menggunakan produk tersebut dalam skala
visual. Hal ini disebut 'Visual Apropriateness'
6. Desainnya akan mempengaruhi keberagaman pengalaman perasaan yang dialami oleh lima indra. Hal ini disebut sebagai richness.
7. Desainnya akan mempengaruhi bagaimana orang dapat membuat dan
meyakinkan dirinya sendiri bahwa hal itu sesuai dengan perspektif
pribadinya. Hal ini disebut sebagai personalization.
(Bentley Alcock Murrain McGlynn Smith, Responsive Environments; a Manual for Designers, 1996)
Tiap
generasi memiliki masalah yang berbeda dan solusi yang berbeda pula.
Dalam hal ini, definisi masalah utama adalah degradasi mentalitas dan
moral, keacuhan bangsa untuk membenahi bangsanya sendiri.
Langkah selanjutnya, apa gol yang ingin dicapai?
Masyarakat yang partisipatif dan aktif dalam membangun bangsa.
Bagaimana
caranya? Merumuskan kebijakan atau merancang kepemimpinan dengan
mengarahkan masyarakat agar tidak dapat memilih jalan 'pasif'
(permeablity), tahu bahwa ada berbagai macam jenis kontribusi (variety),
mudah untuk melihat peluang (legibility), fleksibel untuk siapa saja
(robustness), tertarik (visual apropriateness), terlibat secara
emosional (richness) dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidupnya
serta jalan yang ia pilih (personalization).
Seorang pemimpin
mencuri perhatian saya terkait hal ini. Dia adalah Ridwan Kamil,
walikota Bandung yang baru saja terpilih untuk periode 2013-2018.
Sebelumnya beliau memang sudah terlatih untuk bekerja bersama kaum muda
dengan membentuk komunitas komunitas kreatif di Bandung. Ridwan Kamil
mempunyai metode membenahi bandung dengan tidak bertindak sebagai
SUPERMAN, melainkan SUPER TEAM. Ia membentuk forum dan menjaring
volunteer dari berbagai lapisan masyarakat. Ia membuat kegiatan bersih
bersih jalan dan naik angkot menjadi hal yang keren dan menyenangkan.
Aktivitasnya yang unik dan hangat di jejaring media pun merangkul banyak
kalangan. Konsep kepemimpinannya ia rancang agar masyarakat memberikan
respon seperti yang ia inginkan. Melalui analisis 'responsive
environment' di atas; ia merancang masyarakat untuk MAU TURUN KE JALAN
untuk membereskan masalah masalah yang ada.
Dua sisi pihak yang
mendukung dan mengkritik tentu akan ada. Itulah konsekuensi dari setiap
rancangan. Arsiteknya berhadapan dengan makhluk hidup yang memiliki
respon. Tetapi siapa yang cukup bernyali untuk menggali seluruh potensi
dan kemampuannya untuk menerima konsekuensi tersebut?
Kualitas
seorang arsitek handal tentu saja bukan satu satunya hal yang harus ada
untuk Pemimpin Indonesia. Ia juga harus dilengkapi dengan kualitas
kualitas lainnya untuk menghadapi tantangan Indonesia ke depan.
Kompleks. Rumit. Tetapi tentu saja kita bersama sama ingin sampai ke
muara Kesejahtaraan itu tadi. Dimana tuntutannya bukan lagi soal sepele
infrastruktur, tetapi membawa Indonesia kaya raya yang sedang sakit ini,
menuju puncak! Bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga kemapanan
mentalitas. Menebarkan kebahagiaan. Setelah itu dicapai, masih ada level
level selanjutnya yang harus ditempuh.
Saya yakin harapan itu
masih ada. Harapan itu disanggakan ditiap pundak kita. Karena itu saya
menantang teman teman (dan diri saya sendiri). Siapkah mendesain
Indonesia Sejahtera?