Cari Blog Ini

Selasa, 26 Juli 2011

Suatu Hari di Bulan Ramadhan


H-3 Ramadhan… Deg-degan…bingung.. resah dan gelisah, di sisi lain, sangat bahagia karena akan bertemu dengan bulan yang paling unik tiap tahunnya dalam hidupku, karena berbagai kejadian pembawa hikmah terjadi disana…

Salah satunya di hari menjelang idul fitri, Ramadhan, aku kecil yang merasa cukup BeTe dengan anak baru di sekolahku yang kaya raya dan petantang petenteng dengan berbagai fasilitas yang ia punya melenguh panjang sambil mengeluarkan celotehan ala bocah;

“knapa sih harus ada orang kaya dan miskin? Kenapa Allah ga ngasih rezeki dipukul rata semua? Kan adil… jadi ga ada yang sombong dan ga ada yang ngeraksa kesiksa gara-gara dia ga bisa beli kebutuhanya, untuk sekolah, makan, beli maenan, dll… iya,kan? Iya,kan?”

Ayah yang mendengar dumelanku terkekeh lucu sambil mengelus rambutku.

“nih ya teh… bayangin kalau tiba-tiba setiap orang dapat uang satu milyar.. turun dari langit… whaa… jadi pada kaya semua deh tuh… yang miskin-pun bisa beli apapun yang ia mau…, yang kaya? Ya… makin kaya… eh, eh, tapi kalau semua orang di dunia ini udah kaya dan udah dapat uang banyak, ga ada lagi yan mau jualan, dong? Mereka kan jualan untuk nyari uang, ga ada yang memproduksi barang-barang dan hal-hal yang kita inginkan,dong? Kan mereka bekerja untuk bisa menafkahi keluarga, kalau udah punya banyak, jadi ga perlu kerja lagi,kan? Hm.. pusing juga,ya.. nanti dunia akan berhenti beraktivitas, kalau semuanya makmur dalam finansial, bener,ga?”

Mataku mengerjap-ngerjap… meski ga terlalu paham ayah lanjut menceracau

“jadi, Allah menciptakan dunia ini dengan penuh perhitungan,teh… tiap hal ada pasangannya… begitu pula adanya kaya dan miskin, supaya keduanya bisa saling melengkapi, mengasihi dan saling berbuat kebaikan satu sama lain. Gitu teh… oke?”

Aku mengangguk pelan meski beberapa kata mental karna tak dapat kuserap.
Selain itu, malamnya seluruh keluarga membuat lingkaran untuk berbuka bersama, saat itulah pertama kalinya aku diamanahi tugas yang cukup berat.

“teteh…” dengan lembut ibuku berkata “karena udah gede, nanti kasih zakatnya sendiri, ya.. ke nenek acih yang ada di wetan (bagi yang gatau, kalau di kampung menyebut sebuah kata tempat di sebuah desa dari arahnya. Kaler artinya timur), sekalian teteh belajar ijab Qobul..”

Aku mengernyit… setahuku itu dilakukan orang kalau mau menikah, apa mungki n ibu mau menjodohkanku dengan mang Jaka? Lipatan di dahiku dibalas ibu dengan senyuman.

“Bukan ujab Qobul buat nikah, tapi zakat juga ada serah terima-nya… sekaian teteh silaturahmi sama nini yang disana.. oke?”

Begitu banyak yang harus dsetujui. Aku mengangguk saja meskipun malas luar biasa menggelayutiku. Heang… abis magrib harus keluar? Males.. tapi dicobalah…

FYI, aku adalah anak yang ckup ansos, entah kenapa tak banyak main dan hanya menggambar di dalam kamar yang terkunci rapat, jadi tak banyak tahu tentang tetangga disekitarku. Malamnya aku ke ujung desa dengan berani. Di temani senter dan beras serta beberapa lembar 10.000 yang terlipat rapi dalam amplop, kuhampiri sebuah gubuk kecil yang amat tak layak huni, di dalamnya ada nyala redup lilin yang kemerahan. Kudekati sesosok tubuh yang cukup renta sedang menatap ke kejauhan.

“Asslamu’alaikum…”

Wajah itu menoleh.

“Walaikumslam… eh, eneng hepi… aya naon, neng? (sebenarnya percakapan berikutnya terjadi dalam bahasa sunda, tapi mari kita terjemahkan agar lebih mudah dicerna)”

“iyah… punten,nini… hepi bawa zakat fitrah… punten diterima ya, ni…”
Wajah itu tersenyum sangat ramah dalam temaram cahaya lilin. Dan tiba-tiba menggenangkan bening air mata dengan sayu. Beberapa kali ia mengusap jilbabku.

“anak cantik… anak baik…”

Aku cukup terperangah, ada kekuatan ajaib disana yang membuatku merasakan sesuatu yang aneh dan ganjil. Aku tahu nini acih baru saja kehilangan satu orang anaknya yang bejerja, suaminya meninggal sepuluh tahun yang lalu dan kini ia sendirian menghuni gubuk reyot diujung desa ini. Serasa ikut menyerap dan merasakan kesedihan nini acih, wajah renta itu akhirnya tersenyum dan aku-pun mengucapkan ijab qobul yang telah diajarkan ibu-ku sebelumnya

Aku pulang dengan dada penuh.. meskipun terkesan biasa dan sepele, hal itucukup membekas di hatiku. Tentang kekuatan berbagi dan peduli.

Aku-pun mulai mengerti akan penjelasan ayah tentang kaya dan miskin, dan segala sesuatunya yang berpasangan, tentang kenapa harus ada berbagai perbedaan di dunia ini.

Itulah, kita diberi kelebihan agar kita senantiasa mengulurkan tangan kita untuk memberi dan saling mengasihi sesama muslim, salah stauny a lewat zakat.

Jadi, perbedaan tu bukanlah hambatan melainkan sebuah anugrah berharga utuk disyukuri. Karena perbedaan jualah yang bisa menyatukan kita semua. Iya, kan?

Ini ceritaku, apa ceritamu?:P